Pengusaha Minta Ekspor CPO Ditingkatkan Setelah Lebaran, Ini Alasannya
Aturan mengenai ekspor Minyak Sawit Mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya sudah saatnya dievaluasi kembali.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Aturan mengenai ekspor Minyak Sawit Mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya sudah saatnya dievaluasi kembali.
Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono.
Kepada Kontan.co,id, Eddy meminta agar ada aturan baru untuk meningkatkan kembali ekspor CPO usai Lebaran 2023.
Ekspor minyak sawit mentah telah dikurangi pada Januari lalu setelah harga minyak goreng melonjak dan MinyaKita langka di pasaran.
Baca juga: Harga Minyakita 1 Liter Masih di Atas HET, Paling Mahal di NTT Seharga Rp17.111 per Liter
Menurut Eddy, apabila kebutuhan ekspor meningkat sementara kebutuhan dalam negeri tercukupi pihaknya meminta agar kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) kembali dilonggarkan.
"Ini juga menjaga agar pasokan dalam negeri jangan sampai banjir, tetapi untuk kebutuhan ekspor terbatas," kata Eddy pada Kontan.co.id, Rabu (5/4).
Meski demikian, menurutnya, saat ini kebijakan pembatasan ekspor ini masih belum berdampak pada industri sawit dalam negeri. Sebab, saat ini permintaan dunia akan CPO juga tengah ada tren penurunan.
"Jadi selama kebijakan ini berjalan masih tidak ada masalah dengan ekspor maupun suplai dalam negeri," kata Eddy.
Diketahui, Pemerintah memangkas jumlah ekspor produsen menjadi enam kali dari pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).
Adapun sebelumnya, rasio kuota hak ekspor produk minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya adalah delapan kali dari DMO CPO dan/atau minyak goreng atau 1:8.
Pemerintah, ingin menjamin kebutuhan minyak sawit di Tanah Air aman sampai Ramadan dan Idul Fitri pada April 2023 mendatang. Pemerintah mengantisipasi produksi yang melemah secara musiman pada kuartal pertama tahun depan.
Baca juga: Ekonom Faisal Basri: Kebijakan HET dan Pembatasan Ekspor CPO Picu Krisis Minyak Goreng
Deposito Hak Ekspor
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebut adanya deposito 66 persen hak ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) hingga 1 Mei 2023.
Eddy Martono menuturkan, adanya ketentuan tersebut hingga saat ini belum berdampak pada ekspor CPO.
Ia menjelaskan adanya deposito ekspor tersebut bukan berarti pemerintah tidak memperbolehkan ekspor. Hingga saat ini masih dapat dilakukan dan tanpa hambatan dengan ketentuan DMO 1:6.
"Sekarang secara pemberlakuan rasionya masih 1:6, bukan ditahan tidak ekspor, tetap sekarang ekspor, kita setor 1, kita dapat 6. Jadi sementara ini tidak ada masalah dengan ekspor CPO atau jadi terhambat istilahnya, tidak seperti itu," jelasnya ditemui dalam Munas GAPKI ke XI dan Seminar Nasional, Bali, Rabu (8/3).
Baca juga: Indonesia dan Malaysia Kompak Melawan Diskriminasi Ekspor CPO ke Uni Eropa
Saat ini importir masih menyelesaikan izin ekspor yang tersisa sebelumnya. Artinya meski ada deposito kuota ekspor tak menghambat ekspor yang berjalan.
"Jadi tidak ada masalah. Kenapa waktu itu MinyaKita jadi masalah, karena ekspor ini menurun sehingga DMO-nya tidak jalan. tapi ternyata PE juga masih banyak ketahanan.
Artinya masih banyak yang ketahanan dan ini masih menghabiskan PE itu. Jadi sebenarnya belum ada masalah terhadap ekspor itu, belum terganggu," ungkapnya.
Namun, Eddy mengakui bila terjadi pelemahan ekspor di tahun lalu. Hal tersebut disebabkan karena pasar yang kurang baik karena gejolak ekonomi global.
Meski demikian saat ini pangsa pasar ekspor CPO Indonesia masih unggul. Eddy mengatakan, ekspor sawit Indonesia masih mendominasi dibandingkan minyak nabati lainnya.
"Kalau sekarang ekspor kita masih cukup unggul. Sekarang masih 54% dibanding minyak nabati lain.
Baca juga: Jokowi Cabut Larangan Ekspor CPO, Ikappi Kecewa, GAPKI Sampaikan Apresiasi
Kita lebih efisien, karena kita tanaman tahunan, mereka (minyak nabati lain) kan tanaman semusim. Itu yang menyebabkan pangsa pasar kita lebih tinggi dari minyak nabati lain," jelasnya.
Adapun tahun lalu realisasi ekspor CPO Indonesia mencapai total 30,8 juta ton. Angka tersebut turun sebesar 3 juta ton dibandingkan taun 2021.
Ia menambahkan, jika produksi tahun ini masih sekitar 52 juta ton-53 juta ton, kemungkinan ekspor hampir sama dengan tahun 2022.
Dengan adanya kenaikan harga pupuk hingga potensi musim kemarau panjang produksi berpotensi bisa menurun.
Oleh karena itu, Gapki mendorong adanya peningkatan realisasi peremajaan sawit rakyat (PSR) tahun ini. Dengan upaya peningkatan PSR akan meningkatkan produksi CPO.
"Ini kenapa PSR didorong untuk mengejar produksi. Kalau misal produksi kita turun, konsumsi naik, bisa jadi ekspor kita tahun ini akan di bawah 30 juta ton," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B Pandjaitan meminta agar Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Indonesia National Single Window (INSW) untuk mendepositokan 66% hak ekspor yang dimiliki eksportir saat ini dan tidak dapat langsung digunakan.
Pencairan deposito akan dilakukan secara bertahap sejak 1 Mei dan diberikan melihat kepatuhan perusahaan dalam memenuhi kewajiban DMO.
Namun akan diberikan ruang pencairan deposito lebih cepat bagi perusahaan yang harus memenuhi kontrak yang sudah ada, tetapi hak ekspor yang dimiliki tidak mencukupi meski telah memenuhi tambahan DMO. (Kontan)