Krisis Ekonomi, Warga Pakistan Kelaparan Selama Ramadan, Sudah Ada Lusinan yang Meninggal
Di ibu kota Pakistan, Islamabad, ratusan orang mengantre untuk mendapatkan sekantung tepung gratis di pusat distribusi pemerintah selama bulan puasa
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, ISLAMABAD - Di ibu kota Pakistan, Islamabad, ratusan orang mengantre untuk mendapatkan sekantung tepung gratis di pusat distribusi pemerintah selama bulan suci Ramadan yang berakhir minggu ini.
Di tengah rekor inflasi dan melonjaknya angka kemiskinan, Perdana Menteri Shahbaz Sharif mengumumkan sebuah paket bantuan pada awal Maret yang menawarkan sekantong tepung gratis untuk "orang yang paling miskin di antara yang miskin."
Sambil berdiri dalam antrean di bawah teriknya matahari, Waqas Chaudhry, warga Pakistan berusia 20 tahun, yang bekerja di sektor teknologi, tidak pernah meminta bantuan sebelumnya dalam hidupnya.
Baca juga: 11 Orang Pakistan Meninggal Dunia setelah Berebut Makanan di Kawasan Pabrik Karachi
"Semuanya menjadi sangat mahal. Untuk bertahan hidup saja sudah sangat sulit," kata Chaudhry, yang dikutip dari CNN.
Selama sebulan terakhir, sekitar dua lusin orang telah meninggal di negara tersebut sambil menunggu sumbangan makanan.
Di Karachi, pusat keuangan Pakistan, 13 wanita dan anak-anak tewas pada bulan lalu, ketika ratusan orang berdesak-desakan untuk mendapatkan makanan gratis.
Sembilan orang tewas pada akhir Maret di beberapa tempat pembagian tepung yang dikelola oleh pemerintah di provinsi barat laut Khyber Pakhtunkhwa.
Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan telah menyatakan keprihatinannya atas apa yang disebutnya sebagai "salah urus" yang menyebabkan penyerbuan di pusat-pusat distribusi tepung terigu yang didirikan pemerintah.
Hanya sedikit orang di negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini yang terhindar dari krisis ekonomi yang dimulai pada tahun lalu akibat inflasi yang tinggi, mata uang yang terdepresiasi, dan rendahnya cadangan mata uang asing, yang digunakan untuk membeli impor seperti makanan dan bahan bakar.
Sepertiga dari lahan pertanian Pakistan menjadi korban bencana banjir pada musim panas lalu. Menurut Komite Penyelamatan Internasional, 33 juta orang di Pakistan terkena dampak dari banjir besar yang telah menyebabkan kerusakan ekonomi senilai 40 miliar dolar AS.
Baca juga: Kemlu RI: Tidak Ada WNI Jadi Korban Gempa Bumi di Perbatasan Afghanistan-Pakistan
Pemerintah telah berusaha untuk mencapai kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memulai kembali program pinjaman sebesar 6,5 miliar dolar AS yang telah terhenti sejak November, sebagai upaya untuk menjaga agar perekonomian tetap bertahan.
IMF telah mengajukan serangkaian persyaratan sebagai imbalan atas pencairan cicilan pinjaman sebesar 1,1 miliar dolar AS. Syarat tersebut termasuk meliberalisasi nilai tukar rupee dan menaikkan pajak.
Program yang Tidak Berkelanjutan
Indeks harga konsumen (CPI) Pakistan naik ke rekor 35 persen secara yaer-on-year pada Maret, menurut data resmi Pemerintah Pakistan.
Angka inflasi pada Maret melampaui angka inflasi bulan sebelumnya sebesar 31,5 persen, kata biro statistik negara itu, karena harga-harga makanan, minuman, dan transportasi melonjak hingga 50 persen dibandingkan tahun lalu.
Harga-harga bahan pokok seperti tepung, bahan makanan pokok Pakistan, naik dua kali lipat dalam setahun terakhir, menurut biro tersebut.
Baca juga: Pemerintah Arab Saudi Ajak Umat Muslim Pantau Hilal Idul Fitri Kamis Esok, 20 April 2023
Pemimpin oposisi dan mantan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menyebut kebijakan distribusi tepung pemerintah "tidak berkelanjutan" dan "mempermalukan rakyat".
Meskipun Pakistan telah bolak-balik dari berbagai krisis dalam beberapa tahun terakhir, kesulitan ekonomi saat ini sangat akut. Ada ketidakpuasan dan keputusasaan yang meluas di negara tersebut.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Gallup & Gilani Pakistan, hanya kurang dari tiga perempat dari 2.000 responden berpendapat situasi ekonomi negara ini semakin memburuk selama enam bulan terakhir.
Ammar Khan, seorang peneliti senior nonresiden di Atlantic Council, sebuah think tank di Washington, mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan merajalelanya inflasi makanan.
Pertama karena melonjaknya harga-harga biji-bijian global akibat perang di Ukraina dan rekor penurunan nilai rupee terhadap dollar Amerika Serikat yang membuat impor menjadi lebih mahal.
Baca juga: Gempa Afghanistan-Pakistan, Penduduk Kashmir Bergegas Keluar Rumah, Akui Trauma Gempa 2005
Khan menambahkan, kekurangan impor dasar seperti pakan ternak dan bahan-bahan mentah lainnya yang penting untuk produksi pangan berkontribusi lebih jauh pada krisis pangan dan kelaparan yang meluas.
Ia mengatakan, solusi yang mungkin untuk krisis pangan ini memerlukan kesepakatan yang sukses dengan IMF, yang akan memungkinkan akses ke pendanaan dalam dolar AS dan membantu lebih banyak impor mengalir kembali.
Penyelundupan Bahan Pangan yang Merajalela
Penyelundupan juga berkontribusi terhadap kekurangan pangan.
Seorang analis ketahanan pangan yang berbasis di Karachi, Adil Mansoor, mengatakan bahan makanan pokok seperti tepung ditimbun di Pakistan dan diselundupkan melintasi perbatasan Afghanistan yang dijaga ketat di bagian utara negara ini untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi di Asia Tengah.
Menteri Dalam Negeri Pakistan Rana Sanaullah menegaskan kembali "tekad" pemerintah untuk mengambil "tindakan tegas" terhadap elemen-elemen yang terlibat dalam penyelundupan.
Ramadan adalah masa untuk bersyukur dan berbagi makanan, namun perayaan ini dibayangi oleh krisis ekonomi. Kegiatan amal merupakan komponen penting dalam bulan suci ini dan setiap tahun dapur umum menyediakan makanan berbuka puasa gratis, makanan yang disantap setelah matahari terbenam untuk mengakhiri puasa.
Baca juga: Update Gempa Afghanistan-Pakistan, Korban Tewas Capai 12 Orang, Getaran Dirasakan hingga India
Tahun ini, menurut sebuah organisasi non-pemerintah yang menyediakan makanan gratis, Saylani Welfare International Trust, jumlah orang yang mengandalkan niat baik telah meningkat dua kali lipat. Hanya ada sedikit yang bisa dirayakan oleh banyak orang.
"Kami tidak dapat membayar uang sekolah anak-anak kami," kata seorang pekerja konstruksi yang menunggu di dapur umum, Syed Naseer.
"Kami berbuka puasa hanya dengan air dan kurma, sementara makanan lezat lainnya hanya bisa kami impikan saat ini," ungkapnya.
Keputusasaan ekonomi di Pakistan tidak akan berakhir dengan sekantong tepung, karena begitu banyak orang di Pakistan yang tidur dalam keadaan lapar di bulan Ramadan ini.