Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Darmadi Durianto: Utang Tak Cukup Hanya Dibaca, Tapi Dikelola dan Diselesaikan

Utang merupakan instrumen penting dalam struktur ekonomi di negara manapun, sehingga bukanlah hal yang tabu.

Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Darmadi Durianto: Utang Tak Cukup Hanya Dibaca, Tapi Dikelola dan Diselesaikan
istimewa
Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto. Ia menyebut ketika satu negara berutang dari negara-negara pendonor dan lembaga keuangan dunia (IMF, WB dan lainnya) tentu sudah melalui kalkulasi yang berpijak pada konstitusi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amerika Serikat dan China dua negara dengan ekonomi paling maju sekalipun tetap memerlukan atau tak terlepas dari skema utang.

Utang sejatinya ditujukan untuk membiayai jalannya roda ekonomi dan pembangunan suatu negara. Utang merupakan instrumen penting dalam konsep ekonomi yang kini dijalankan oleh negara-negara di dunia.

Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto berpandangan, utang bukanlah hal tabu dalam sistem ekonomi manapun.

Baca juga: Ekonom Sebut Modal Asing Akan Keluar dari Pasar Keuangan Indonesia Jika Amerika Gagal Bayar Utang

Menurutnya, utang merupakan instrumen penting dalam struktur ekonomi di negara manapun.

"(Utang) adalah instrumen penyangga. Skema utang sebenarnya hanya ditujukan untuk kegiatan pembangunan yang sifatnya produktif. Misal untuk infrastruktur. Kecuali kita mau jadi negara yang mengisolasi diri dan mampu menjalankan negara tanpa utang. Tapi itu mustahil sangat utopis," katanya kepada wartawan, Sabtu (29/4/2023).

Bendahara Megawati Institute itu menjelaskan, ketika satu negara berutang dari negara-negara pendonor dan lembaga keuangan dunia (IMF, WB dan lainnya) tentu sudah melalui kalkulasi yang berpijak pada konstitusi.

"Tidak sembarangan satu lembaga memberikan utang ke satu negara tentu melalui tahap seleksi dan analisis yang kuat. Indonesia misalnya diberikan utang karena dianggap PDBnya cukup kredibel ditambah proyeksi pertumbuhan ekonominya dianggap cukup meyakinkan dan pemerintah pun berpegang pada regulasi yang ada (paham soal batas pinjaman yang tak melebihi 3 persen PDB)," terang politikus PDIP itu.

Berita Rekomendasi

Menurutnya, jika utang melulu dikonotasikan negatif maka, hal tersebut bertolak belakang dengan realitas sebenarnya.

"Ketika dipinjamkan utang itu artinya satu negara dianggap cukup sejahtera dan dianggap mampu membayarnya. Ini kan teori sederhana saja," ucapnya.

Yang jadi persoalan, kata dia, ketika instrumen utang ditarik ke dalam wilayah politik praktis yang sama sekali tidak punya kapasitas untuk menjabarkannya.

"Kalau masuk wilayah politik, utang kan hanya dibaca saja tidak diselesaikan. Padahal utang itu tidak cukup hanya dibaca akan tetapi perlu dikelola dan diselesaikan dengan membaca konstitusi secara benar," ujarnya.

Darmadi menjelaskan, setidaknya ada sejumlah cara untuk menyelesaikan utang berdasarkan point penting dalam buku Principles for Navigating Big Debt Crises.

"Ada sejumlah resep penting dalam buku itu bagi pembuat kebijakan utamanya terkait cara menurunkan utang. Pertama, penghematan. Kedua, default utang dan restrukturisasi. Ketiga, pencetakan uang oleh bank sentral. Keempat, transfer uang dari orang dengan kemampuan ekonomi lebih kepada mereka yang di bawahnya," ujar Darmadi.

Menurutnya, jika melihat empat poin penting tersebut, hal itu selaras dengan sejumlah kebijakan yang sudah dibuat pemerintah saat ini.

"Soal penghematan misalnya, bagaimana pemerintah Jokowi terus menggaungkan tentang alokasi APBN untuk belanja pegawai diminimalkan, rapat-rapat di tempat-tempat mewah kan dihapus, sejumlah lembaga negara yang kurang produktif juga banyak ditiadakan, belum lagi soal kebijakan pembagian dana tunai (bantalan sosial) bagi masyarakat dengan ekonomi kurang berdaya. Semua ini saya kira relevan dengan apa yang jadi intisari buku Principles for Navigating Big Debt Crises itu," paparnya.

Darmadi kembali menjelaskan, ketika suatu pemerintahan mengakses pinjaman atau utang dari negara luar atau lembaga keuangan dunia, itu sudah melalui proses yang konstitusional.

"Pemerintah dipandu konstitusi dan semuanya dilakukan secara transparan karena berpijak pada sistem ketatanegaraan yang kredible (melalui persetujuan DPR). Alangkah baiknya, sebelum membaca soal prinsip-prinsip menangani krisis utang, memahami konstitusi dan membacanya dengan baik itu jauh lebih konkret," katanya.

Baca juga: Banyak Bank Global Bangkrut dan Gagal Bayar Surat Utang, Indonesia Diminta Waspada

Bicara soal utang pemerintah saat ini, jelas dia, semua masih dalam batas yang normal setidaknya berdasarkan UU Keuangan Negara.

Batas normal itu, kata dia, bisa dilihat melalui beberapa indikator di mana pemerintah mampu mengelola utang dengan baik. Baik itu, utang luar negeri maupun utang dalam negeri.

"Debt Service Ratio mengalami penurunan cukup signifikan, data Bank Indonesia (BI), terkait DSR Tier-1 kuartal III-2022 tercatat sebesar 16,9% atau turun dari kuartal II-2022 yang sebesar 17,92%, ini menunjukan indikator pengelolaan utang kita makin membaik. Jumlah pinjaman dalam negeri pun masih terbilang rendah yaitu ada di angka Rp 14,74 triliun dari PDB kita yang mencapai dua ribuan triliun," paparnya.

"Jadi, utang tak cukup dibaca dengan bacaan politis dan pencitraan. Tapi, sekali lagi utang mesti dikelola dan diselesaikan dengan baik. Itu resepnya," tegas Darmadi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas