Lima Alasan Partai Buruh Gugat UU Cipta Kerja ke MK: Pembangkangan Konstitusi
Ada lima alasan Partai Buruh mengajukan gugatan uji formiil Undang-Undang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada lima alasan Partai Buruh mengajukan gugatan uji formiil Undang-Undang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penertapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UUCK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Koordinator Kuasa Hukum Pemohon Partai Buruh Said Salahudin meyakini dua dari lima alasan tersebut tak terbantahkan bagi MK untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang baru.
Pertama, kata dia, pengesahan UU Copta Kerja yang baru bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang pada prinsipnya menyatakan UUCK inkonstitusional.
“Ini jelas pembangkangan konstitusi,” kata Said Salahudin di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (3/5/2023).
Alasan kedua, aturan tentang Cipta Kerja yang dimuat dalam Perppu tidak memenuhi kondisi-kondisi serta unsur-unsur kegentingan memaksa yang sudah ditetapkan standarnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.
Menurut Said Salahudin, materi muatan Perppu Cipta Kerja secara substansi sama saja dengan materi muatan dalam Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.
“Tidak ada norma dalam Perppu yang dimaksudkan untuk mengatasi kekosongan hukum seperti yang selama ini selalu dijadikan sebagai dalil oleh pemerintah. Itu palsu,” katanya.
Baca juga: Hari Ini, Partai Buruh Gugat UU Cipta Kerja ke MK
Seharusnya, kata Said, Perppu hanya dijadikan pemerintah sebagai instrumen hukum untuk menegasikan atau menganulir Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Karena tidak ada norma dalam Perpu yang dimaksudkan untuk mengatasi kekosongan hukum, maka Perppu Cipta Kerja jelas tidak memenuhi unsur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Ketiga, lanjut Said, pembentukan Perppu Cipta Kerja dan UUCK tidak memenuhi syarat Partisipasi Masyarakat secara Bermakna (Meaningful Participation).
Baca juga: Partai Buruh Resmi Ajukan Uji Formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi
Doktrin Meaningful Participation yang diperkenalkan oleh Ahli pada saat menjadi Pemohon uji formil UUCK jilid pertama dulu, sudah diadopsi dan dijadikan sebagai standar oleh Mahkamah Konstitusi untuk perkara pengujian formil.
Faktanya, kata Said, prinsip partisipasi masyarakat yang bermakna ini tidak dipenuhi dalam pembentukan Perppu dan UUCK.
Tokoh-tokoh buruh dari konfederasi-konfederasi terbesar di Indonesia tidak pernah dimintai pendapat.
Kalaupun ada, masukan-masukan mereka diabaikan oleh pemerintah dan DPR.
Said bilang hal ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal.
Sebelum Perppu Cipta Kerja terbit, antara kelompok pengusaha, pemerintah, dan buruh sebetulnya sudah sempat membuat kesepahaman mengenai aturan ketenagakerjaan yang kelak akan dimuat dalam Perpu.
Tetapi begitu Perppu Cipta Kerja terbit, materi muatan atau isinya justru berbeda. Tidak ada satu pun hasil kesepahaman, khususnya masukan dari kelompok buruh yang diakomodir dalam Perpu.
“Mereka undang pemimpin buruh hanya untuk menggugurkan kewajiban bahwa syarat partisipasi masyarakat sudah dipenuhi.”
“Ini kan jahat sekali. Model partisipasi semu semacam itu jelas tidak sesuai dengan konsep Meaningful Participation,” ucapnya.
Alasan keempat, UU Cipta Kerja terbukti ditetapkan diluar jadwal konstitusional atau ditetapkan melampaui batas waktu.
Merujuk Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang dipertegas dengan Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), kekuasaan DPR dalam mengesahkan sebuah Perpu menjadi undang-undang tegas dibatasi.
Dalam UUD 1945, pembatasan itu pada pokoknya menentukan penetapan Perpu menjadi undang-undang hanya boleh dilakukan “dalam persidangan yang berikut”.
Agar klausul persidangan berikut dalam UUD 1945 tidak menimbulkan multi tafsir, maka UU PPP menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah “masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan”.
Sedangkan Perppu Cipta Kerja diundangkan pada tanggal 30 Desember 2022.
Said beranggapan, jika DPR hendak memberikan persetujuan dan menetapkan Perpu itu menjadi undang-undang, maka DPR harus lakukan hal tersebut di forum Rapat Paripurna masa sidang pertama yang jatuh pada tanggal 10 – 16 Januari 2023.
Faktanya, penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UUCK justru baru dilakukan DPR pada Rapat Paripurna tanggal 21 Maret 2023.
“Jadi, kalau DPR bilang mereka sudah memberikan persetujuan terhadap Perpu Cipta Kerja pada masa sidang pertama, yaitu tanggal 15 Januari, itu jelas kebohongan publik. Menyampaikan kabar bohong kepada rakyat adalah perbuatan tercela.”
“Yang sesungguhnya terjadi adalah DPR tidak pernah menggelar Rapat Paripurna di bulan Januari dengan agenda memberikan persetujuan terhadap Perpu Cipta Kerja,” papar Said.
Yang ada, lanjut dia, pada 15 Januari 2023 DPR baru sebatas menyepakati Perpu Cipta Kerja di forum rapat Pembicaraan Tingkat Satu.
Pembicaraan tingkat satu adalah tahapan awal dalam proses pengesahan sebuah undang-undang di parlemen. Pembicaraan tingkat satu berbeda dengan rapat paripurna.
Itu merupakan dua forum rapat yang berlainan. Kekuatan hukum diantara keduanya pun secara konstitusional berbeda.
Oleh sebab itu, forum pembicaraan tahap satu secara hukum tidak dapat digunakan DPR untuk memberikan persetujuan, apalagi untuk menetapkan Perpu menjadi undang-undang. Itu jelas inkonstitusional.
“Persetujuan untuk menetapkan Perpu menjadi undang-undang hanya dapat dilakukan dalam Rapat Paripurna, bukan dalam forum rapat lain di DPR,” katanya.
Alasan kelima yang diajukan Partai Buruh untuk menyatakan UUCK inkonstitusional adalah tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perpu dengan menggunakan metode omnibus law.
Dalam Pasal 42A UU PPP diatur, metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam keadaan normal, semisal undang-undang.
Omnibus Law tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perppu.
Konstruksi hukum yang demikian disebabkan karena Pasal 42A UU PPP sudah ‘mewanti-wanti’ bahwa kalau mau membuat produk hukum dengan menggunakan metode omnibus law, maka harus dipenuhi dulu tiga syarat.
Syarat pertama, produk hukum itu terlebih dahulu harus disusun dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.
Kedua, rancangan peraturan perundang-undangan itu harus ditetapkan dalam sebuah dokumen perencanaan. Ketiga, dokumen perencanaan itu harus dimasukan dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Said mengatakan Perppu merupakan bentuk hukum darurat yang tidak didesain untuk memenuhi tiga syarat tersebut.
Karena sifat kemendesakannya, Perppu dibentuk tanpa harus melalui sebuah dokumen perencanaan, apalagi harus terlebih dahulu dimasukan dalam prolegnas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah Perppu tidak mungkin dibentuk dengan metode omnibus law karena dia tidak mungkin mampu memenuhi syarat-syarat pembentukan produk hukum dengan metode omnibus law.
“Di sinilah argumentasi bahwa Perpu Cipta Kerja cacat formil dan harus dinyatakan inkonstitusional menemukan korelasinya,” tukasnya.