Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Viral Syarat Perpanjang Kontrak Kerja Mesti Berhubungan Intim, Partai Buruh Ajak Pekerja untuk Lapor

Relasi kuasa ini umum terjadi di tempat kerja dan dimanfaatkan oleh yang punya kuasa untuk menindas yang lemah.

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Viral Syarat Perpanjang Kontrak Kerja Mesti Berhubungan Intim, Partai Buruh Ajak Pekerja untuk Lapor
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ilustrasi pekerja. Partai Buruh memberikan kecaman atas kejadian yang menimpa dan sangat merugikan bagi buruh perempuan yang diminta berhubungan intim sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sosial media tengah dihebohkan kabar yang beredar terdapat oknum perusahaan di Cikarang, Jawa Barat (Jabar), yang memberikan syarat berhubungan intim untuk perpanjangan kontrak bagi karyawati (buruh perempuan).

"Banyak yang up soal perpanjangan kontrak di perusahaan area Cik*rang. Ada oknum atasan perusahaan yang mensyaratkan harus STAYCATION bersama karyawati agar mendapatkan perpanjangan kontrak. Yang mengerikan, ini ternyata sudah RAHASIA UMUM perusahaan dan hampir semua karyawan tahu," cuit @Miduk17, pada Minggu (30/4/2023).

Menanggapi hal itu, Deputy Bidang Pemberdayaan Perempuan, Exco Pusat Partai Buruh Jumisih memberikan kecaman atas kejadian yang menimpa dan sangat merugikan bagi buruh perempuan tersebut.

Baca juga: Pekerja Migran Banyuwangi Jadi Korban Kekerasan di Malaysia

"Kita pasti prihatin dan mengecam atas situasi tersebut. Dan sangat disayangkan dalam situasi hubungan kerja terdapat hal-hal yang sangat merugikan perempuan," ujar Jumisih, Rabu, (3/5/2023).

Kejadian tersebut, lanjut Jumisih, tak lepas akibat adanya relasi kuasa.

Di mana pemilik kuasa, yakni atasan perusahaan, bertindak sewenang-wenang, dengan menindas yang lemah, demi mendapatkan apa yang diinginkannya.

Berita Rekomendasi

"Hal ini juga terjadi akibat adanya relasi kuasa. Relasi kuasa antara mereka yang punya kuasa, dalam hal ini adalah atasan, dan buruh perempuan yang memang butuh pekerjaan," katanya.

Menurut dia, relasi kuasa ini umum terjadi di tempat kerja dan dimanfaatkan oleh yang punya kuasa untuk menindas yang lemah, dalam hal ini adalah buruh perempuan.

Jumisih menegaskan, bahwa Partai Buruh, yang salah satu konstituennya adalah kelas pekerja, akan sangat terbuka untuk mengurai persoalan tersebut.

Tentunya dengan memberikan bantuan perlindungan dan pendampingan hukum, bagi para korban untuk mendapatkan keadilan.

"Kami dari Partai Buruh tentu saja mendukung korban untuk mendapatkan keadilan. Dan apabila korban ingin mendapatkan perlindungan atau pendampingan hukum, Partai Buruh sangat bersedia," pungkas Jumisih.

"Situasi buruh kontrak seperti itu juga ada kaitannya dengan Undang-undang (UU) yang saat ini berlaku. Misalnya sekarang ada UU Cipta Kerja, di mana sistem kerja kontrak itu dilegitimasi oleh hukum," tambah Jumisih.

Dia menilai, sebetulnya itu ada kaitannya dengan regulasi karena jika misalnya hubungan kerja itu tidak dalam kondisi buruk seperti sekarang, hal-hal seperti itu bisa diminimalisir.

Meski demikian, Jumisih mengajak kepada seluruh buruh perempuan, agar tidak tunduk terhadap aturan-aturan yang merugikan buruh perempuan.

Lantaran, negara telah menjamin hal tersebut, sehingga hanya dibutuhkan keberanian untuk melaporkannya.

"Sekarang kan sudah ada UU (Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tetapi PP turunannya masih dalam proses perancangan. Namun sebetulnya, itu juga bisa dimanfaatkan supaya pihak korban mendapatkan keadilan, dengan melapor ke posko pembelaan, atau ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat dan juga pihak kepolisian," katanya.

Selain itu, Jumisih meminta, apabila hal itu terbukti nyata, maka pihak perusahaan dan juga pemerintah harus bertanggungjawab.

Dengan demikian, tidak ada lagi buruh, khususnya buruh perempuan, yang menjadi korban akibat regulasi yang buruk dan pemanfaatan relasi kuasa yang sewenang-wenang.

Persoalan tersebut juga harus meminta pertanggungjawaban dari pengusaha dan juga pemerintah, di mana sebagai korban, pekerja berhak untuk mendapatkan keadilan.

"Ketika korban melapor, tentu saja harus mendapatkan pendampingan hukum, waktu, kesempatan dan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan dengan catatan tidak mengintimidasinya," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas