Menkeu Sri Mulyani Beberkan Empat Tantangan Berat Usai WHO Cabut Status Darurat Covid-19
Sri Mulyani, membeberkan empat tantangan berat yang bakal dihadapi usai WHO mencabut status darurat Covid-19. Apa saja?
Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, membeberkan empat tantangan berat yang bakal dihadapi usai World Health Organization (WHO) mencabut status darurat Covid-19.
Menurut Sri Mulyani, perkembangan dinamika global yang sedemikian cepat, pasca-pandemi telah menciptakan kompleksitas yang berat dalam tahun-tahun sekarang dan ke depan.
"Ada empat tantangan besar yang sedang dan akan dihadapi oleh Indonesia dan negara lain di seluruh dunia," ucap Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Jumat (19/5/2023).
Baca juga: WHO Cabut Status Darurat Covid-19, Wapres Ingatkan Masyarakat Tetap Waspada
Sri Mulyani mengatakan, ketegangan geopolitik global menjadi tantangan berat yang perlu dihadapi.
Menurutnya, tensi geopolitik telah menyebabkan perubahan signifikan arah kebijakan ekonomi negara besar dan berimbas bagi seluruh perekonomian.
"Perang Ukraina yang terjadi di awal 2022 mempertajam polarisasi dan fragmentasi geopolitik tersebut. Kerjasama ekonomi dan kemitraan strategis semakin terkotak-kotak sesuai dengan kedekatan aliansi atau friend shoring," ucap dia.
"Akibatnya aktivitas perdagangan yang bergantung pada pasar ekspor dan aliran modal luar negeri terkena dampak signifikan. Fragmentasi geopolitik ini telah memicu fenomena dedolarisasi yang juga berdampak besar baik bagi perekonomian AS maupun ekonomi global," sambungnya.
Kemudian, Sri Mulyani mengatakan, tantangan kedua adalah perkembangan teknologi digital yang kian pesat. Menurut dia, perkembangan digitalisasi menjadi ancaman nyata bagi pasar tenaga kerja nasional yang masih didominasi oleh tenaga kerja yang tidak terampil.
Kata Ani, jika tidak diantisipasi, tingkat pengangguran akan meningkat terutama pada kelompok tenaga kerja dengan keterampilan dan pendidikan terbatas.
"Ketidaksiapan pasar tenaga kerja suatu negara juga akan menjadi faktor kendala dalam menarik investasi. Peranan teknologi digital yang makin krusial dalam berbagai aspek kehidupan menjadi pemicu eskalasi persaingan hegemoni Amerika Serikat Tiongkok, yaitu kompetisi penguasaan industri semikonduktor atau chipwar yang saat ini didominasi oleh Taiwan," terangnya.
Sedangkan tantangan ketiga, lanjut Sri Mulyani, perubahan iklim menjadi ancaman nyata bagi manusia dan perekonomian.
Dia menerangkan, cuaca ekstrim yang terjadi terkait perubahan iklim menimbulkan kerugian berupa korban jiwa, aset, dan menurunnya aktivitas produksi.
Baca juga: PHK 400 Staf, Perusahaan Vaksin Novavax Langsung Loyo Pasca WHO Cabut Status Darurat Covid
"AS mengeluarkan inflation reduction act (IRA), Eropa menerapkan karbon border adjustment mechanism (CBAM). Hal ini menjadi hambatan nontarif yang sangat nyata bagi perdagangan internasional dan investasi dari maupun ke AS serta Eropa," jelas Ani
"Ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk terus bisa menjaga kinerja eksternalnya," tegasnya.
Sementara tantangan keempat, Sri Mulyani menjelaskan, Covid-19 bukan merupakan pandemi terakhir. Kata dia, kejadian pandemi pasti akan berulang, untuk itu dia menegaskan untuk tetap berjuang dari scaring effect.
Menurut Sri Mulyani, selain keempat tantangan itu perekonomian Indonesia di tahun 2023 sampai 2024 dihadapkan pada tekanan berat. Dia mengaku, inflasi global masih terus menghantui.
Terlebih, ketatnya likuiditas global dan kenaikan suku bunga serta persoalan perbankan di Amerika Serikat dan Eropa menyebabkan prospek ekonomi dunia akan cenderung melemah.
"Laju inflasi global yang belum kembali ke level normal rendah menyebabkan suku bunga acuan global cenderung tertahan di tingkat tinggi," ucap Ani.
"Konsekuensinya likuiditas global akan ketat, cost of fund menjadi tinggi, ruang kebijakan di banyak negara makin terbatas, gejolak perbankan di AS dan Eropa menambah resiko ketidakpastian," jelasnya.
WHO Umumkan Darurat Kesehatan Covid-19 Telah Berakhir
WHO atau organisasi kesehatan dunia mengumumkan darurat kesehatan pandemi Covid-19 telah berakhir.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus pada pertemuan virtual Jumat malam (05/05/2023).
"Covid-19 sekarang menjadi masalah kesehatan yang mapan dan berkelanjutan yang tidak lagi merupakan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC)," kata Tedros dikutip dari keterangan situs resmi WHO.
Tedros mengatakan, selama sesi pertemuan yang berlangsung mulai Kamis kemarin, anggota Komite menyoroti telah terjadi tren penurunan kematian Covid-19, penurunan rawat inap terkait Covid-19 dan penerimaan unit perawatan intensif, maupun tingginya tingkat meningkatnya imunitas terhadap SARS-CoV-2 karena vaksin.
"Jumlah kematian dan rawat inap yang dilaporkan setiap minggu terus menurun," lanjut Tedros.
Nantinya akan ada publikasi tentang Rencana Kesiapsiagaan dan Respons Strategis Covid-19 tahun 2023-2025.
Hal ini guna memandu negara-negara dalam transisi menuju manajemen Covid-19 jangka panjang.
"Rencana ini menguraikan tindakan penting bagi negara-negara untuk mempertimbangkan lima bidang: pengawasan kolaboratif, perlindungan masyarakat, perawatan yang aman dan terukur, akses ke penanggulangan, dan koordinasi darurat," urai dia.
Tedros pun mengucapkan terima kasih kepada Profesor Houssin atas kepemimpinannya dalam membimbing Komite selama tiga tahun terakhir dan kepada setiap Anggota Komite dan Penasehat atas keahlian, dedikasi, dan komitmen dalam penanganan pandemi Covid-19.
Meski demikian, Tedros tetap mengingatkan pencabutan status pandemi ini bukan berarti ancaman kesehatan terhadap Covid-19 juga berakhir.
Pasalnya, di beberapa negara diberlakukan suntikan vaksinasi Covid-19 sampai empat kali.
Diketahui, Covid-19 dinyatakan menjadi pandemi global pada 30 Januari 2020.
Sementara di Indonesia kasus pertama Covid-19 terdeteksi pada 1 Maret 2020 pada dua orang warga Depok, Jawa Barat.
Kedua kasus itu kemudian diumumkan oleh Presiden Jokowi.