BPR/BPRS di Tengah Prospek yang Besar Malah Menurun, Digitalisasi Menjadi Kuncinya
Nasib Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) menjadi ironi pada zaman digital saat ini.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Nasib Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) menjadi ironi pada zaman digital saat ini.
Meskipun prospeknya cukup besar di Indonesia, namun pada kenyataannya kalah bersaing dengan bank konvesional yang terus tumbuh pesat.
Di mana bank konvensional sedang mengalami pertumbuhan pesat, sejumlah BPR/BPRS malah bernasib buruk.
Baca juga: Ekspansi Bisnis, Perusahaan Fintech Ini Gandeng 60 BPR dan BPRS
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) malah menyebut, rata-rata ada 6 BPR yang tutup setiap tahunnya.
Kepala Kantor Regional 1 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi DKI Jakarta Banten, Roberto Akyuwen menjelaskan, adanya BPR yang tutup belakangan menjadi sebuah fenomena yang intens terjadi.
Namun demikian sebenarnya, terdapat keinginan BPR maupun BPRS tersebut untuk melakukan konsolidasi.
"Terkait industri BPR dan BPRS memang perlu penguatan modal dan konsolidasi. Itu akan membuat industri semakin kuat," kata dia dalam Diskusi Media: Kinerja Hijra Bank dan Potensi Transformasi Digital Keuangan Syariah di Indonesia, Senin (29/5/2023).
Roberto menerangkan, saat ini memang tren industri BPR dan BPRS sedang mengarah ke konsolidasi dan penggabungan.
Hal tersebut juga akan memudahkan regulator dari sisi pengawasan. Ia mencontohkan, regulator di Jakarta saat ini menangani 8 sampai 10 BPR atau BPRS per orang.
Jumlah tersebut terbilang besar mengingat banyaknya hal yang perlu dilakukan dalam sistem pengawasan.
Ia menambahkan, dengan adanya UU P2SK, BPR dan BPRS yang bermasalah akan langsung mendapatkan status sebagai bank dalam pengawasan.
Baca juga: BPR Karya Remaja Indramayu Batasi Tarik Tunai Rp 300 Ribu Sekali Seminggu, Nasabah Mengadu ke Bupati
Setelah itu, bank dapat langsung diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk proses pencabutan izin usaha atau resolusi untuk perbaikan kinerja.
Di sisi lain, Roberto mengimbau, BPR juga memikirkan jalan untuk dapat mendigitalisasi layanannya.
Yang jadi masalah, pendakatan terhadap BPR dan BPRS selama ini dilakukan dengan cara konvensional dan klasik. Belum lagi, pemilik BPR dan BPRS saat ini rata-rata sudah berumur.
"Biasanya sudah tua, jadi tidak mau menggabungkan BPR, karena punya anak 3 jadi mau dikasih satu-satu. Jadi, apapun kondisinya kecil dan tidak bisa bersaing, dia akan mempertahankan. Kami kesulitannya di situ dalam beberapa kasus," urai dia.
Untuk itu, Robert terus mendorong BPR dan BPRS untuk merger. Caranya dengan memberikan ilustrasi bagaimana entitas dengan modal yang kecil akan lebih sulit berkembang.
Di provinsi DKI Jakarta dan Banten mencatatkan rasio kredit bermasalah melebihi threshold 5 persen sebagai akibat dampak pandemi Covid-19 sejak tahun 2020.
Untuk itu, BPR/BPRS di kedua provinsi itu dituntut agar semakin efisien dalam menjalankan proses bisnis.
Baca juga: Bukukan Aset Rp 6,8 Triliun di Masa Pandemi, BPR Lestari Sabet Top 100
"Digitalisasi menjadi salah satu fokus Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 1 DKI Jakarta dan Banten dalam pengembangan industri BPR/BPRS yang saat ini dihadapkan pada meningkatnya persaingan usaha," kata Roberto.
Dikatakan Roberto, penerapan Artificial Intelligence (AI) dan pemanfaatan credit scoring untuk analisis pengajuan kredit diharapkan dapat mengakselerasi digitalisasi kegiatan usaha BPR/BPRS sebagaimana tertuang secara khusus dalam pilar 2 roadmap pengembangan perbankan Indonesia yakni Akselerasi Transformasi Digital.
Dalam sosialisasi Market Conduct untuk BPR/BPRS Regional 1, Kepala Departemen Market Conduct OJK, Bernard Widjaja mengatakan, penggunaan teknologi dibutuhkan untuk pengawasan perilaku pelaku usaha jasa keuangan.
"Ini mengingat data dan informasi mengenai perilaku kurang efisien dan optimal apabila dianalisis secara manual, misalnya penggunaan teknologi AI dan atau machine learning dalam memantau penawaran produk dan layanan jasa keuangan melalui media atau iklan," katanya.
Direktur Utama CBI, Agus Subekti mengatakan, optimalisasi pemanfaatan informasi perkreditan dan teknologi sudah urgent bagi BPR/BPRS.
CBI merupakan lembaga pengelolaan informasi perkreditan (LPIP).
"Optimalisasi pemanfaatan informasi perkreditan dan teknologi telah terbukti berdampak pada peningkatan efisiensi, akurasi, objektivitas, konsistensi dan layanan penyaluran kredit," kata Agus.
Agus menambahkan, CBI telah mengidentifikasi beberapa kendala yang dialami BPR/BPRS pada saat melaksanakan transformasi maka dalam pihaknya akan menyampaikan tentang infrastruktur teknologi dan informasi perkreditan yang dibangun khusus untuk menyelesaikan kendala yang dihadapi BPR/BPRS selama ini.
'Ganti Baju'
Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) menyatakan, BPR kini memiliki nama baru dari tadinya Bank Perkreditan Rakyat berubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat.
Perubahan nama ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), yang disahkan pada 12 Januari 2023.
Dalam UU tersebut, BPRS juga berubah dari Bank Pembiayaan Rakyat Syariah menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah.
Ketua Umum DPP Perbarindo Tedy Alamsyah mengatakan, total aset BPR dan BPRS kini sudah mencapai Rp202,46 triliun.
"Hingga Desember 2022, total aset industri BPR dan BPRS tumbuh 9,14 persen atau menjadi Rp202,46 triliun, dibanding Desember 2021 yang masih Rp185,50 triliun," ujar Tedy saat perkenalan nama baru BPR di Lapangan Parkir Timur Kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu (28/5/2023).
Adapun penyaluran dana kredit BPR dan BPRS per Desember 2022 tumbuh 11,81 persen, melebihi tingkat pertumbuhan kredit sebelum pandemi Covid-19 yang tercatat 10,85 persen.
“Industri ini tumbuh begitu pesat dan untuk yang akan go publik pasti ada, saat ini sudah ada ruang keleluasaan dari regulator untuk terus mendukung BPR berkembang dengan go publik. Untuk itu, BPR harus berubah dan merespon digitalisasi,” kata Tedy.
Sementara itu, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa menyebutkan, OJK ingin mengajak kalau mau menabung harus menggunakan yang logis, yakni legal atau berizin.
Dari itu, maka masyarakat bisa menggunakan BPR, di mana bunga lebih tinggi dengan keamanan pengawasan dari OJK dan penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Kemudian, supaya jadi tulang punggung ekonomi masyarakat dengan mendampingi pelaku UMKM jadi lebih besar, OJK ingin ada kolaborasi dengan BPR yang memiliki jaringan luas.
"Ada 1600-an (BPR dan BPRS) dan ini suatu tugas sinergis, sebelum menambah nasabah dan memberikan kredit. Tentunya harus dimulai dengan edukasi agar menjadi nasabah berkualitas dan BPR harus mengebut digitalisasi supaya tidak tertinggal dalam kontributif kepada masyarakat," pungkas Aman. (Tribunnews.com/Kompas.com)