Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ternyata Pengusaha Sudah Ekspor Pasir Laut Sebelum Ada Aturan Jokowi

Selama ini, pasir laut memang diizinkan pemanfaatannya untuk kebutuhan dalam negeri, terutama untuk pasir uruk tanah reklamasi.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Ternyata Pengusaha Sudah Ekspor Pasir Laut Sebelum Ada Aturan Jokowi
Warta Kota/Ign Agung Nugroho
Diana Dewi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Izin ekspor pasir laut telah diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 15 Mei 2023.

Meski demikian, kebijakan ekspor yang sempat dicabut selama 20 tahun lalu sempat tersebut menjadi perdebatan.

Pemerintah kemudian membuka izin kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Baca juga: Menteri ESDM Sebut Dibukanya Ekspor Pasir Laut Karena Terjadi Pendangkalan

Kendati begitu, Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengatakan, ekspor pasir laut sebenarnya sudah dilakukan sebelum Jokowi menerbitkan aturan tersebut.

Namun, ekspornya terbatas.

"Kemarin itu, sebelum ekspor pasir laut dibuka, banyak teman-teman pengusaha sudah pada punya dan terima IUP-nya (izin usaha pertambangan). Jadi sebenarnya sudah ada ekspor itu (pasir laut) sebelumnya, cuma dibatasi," ungkapnya saat ditemui di Hotel The Sultan Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Ia menuturkan, dengan pembatasan kuota ekspor pasir laut, bahkan membuat 1 orang pengusaha bisa memiliki 4 sampai 5 perusahaan yang bergerak di bidang tersebut.

Berita Rekomendasi

Kondisi ini membuat pengusaha mengusulkan pembukaan izin ekspor secara penuh kepada pemerintah.

Menurut Diana, pengusaha sudah melakukan diskusi langsung dengan pemerintah, yang mana pemerintah pun mendengar aspirasi para pengusaha.

"Dengan pembatasan itu, sebenarnya 1 orang bisa punya perusahaan 4-5, karena kan bicara kuota untuk keluar.

Jadi kenapa enggak dibuka? Pemerintah mendengar aspirasi ini," ucapnya.

Kendati begitu, Diana menekankan, pemerintah perlu menerangkan kepada masyarakat dasar kajian terkait dibukanya ekspor pasir laut secara bebas.

Baca juga: Ramai Kabar Dirinya Dijodohkan dengan Ariel NOAH, Inara Rusli: Nggak Kenal

Hal itu untuk memperjelas duduk kebijakan tersebut.

Ia bilang, bisnis pasir laut sendiri memang sangat diminati pelaku usaha karena menghasilkan keuntungan yang besar.

Namun, Diana enggan menyebut nilai keuntungan dari ekspor pasir laut.

"Cuannya gede," kata dia.

Sebelumnya, ekspor pasir laut memang selama ini dilarang pemerintah sejak tahun 2003. Hal ini sesuai dengan Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tertanggal 28 Februari 2003.

Selama ini, pasir laut memang diizinkan pemanfaatannya untuk kebutuhan dalam negeri, terutama untuk pasir uruk tanah reklamasi.

Baca juga: 20 Tahun Ditutup Ekspor Pasir Laut Kembali Dibuka, Sejarah Kelam Masa Lalu Bakal Terulang?

Sementara itu, untuk ekspor pasir laut sudah dilarang sejak 2003.

Namun keran ekspor itu kembali dibuka melalui terbitnya PP 26/2023, yang mengatur ketentuan baru terkait pengelolaan pasir laut.

Pada Pasal 6 aturan itu, Jokowi memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan alasan mengendalikan sedimentasi di laut.

Dalam Pasal 8, Jokowi mengizinkan aktivitas pengerukan pasir laut dengan alasan pembersihan sedimentasi.

Pengerukan pasir laut itu diprioritaskan dilakukan kapal isap berbendera Indonesia.

Izin ekspor pasir laut hasil kerukan itu kemudian dipertegas Jokowi dalam Pasal 9.

Hasil pengerukan pasir laut dari aktivitas pembersihan sedimentasi bisa dijual ke luar negeri dengan syarat kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi.

Pernyataan Menteri Kelautan

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut diterbitkan untuk menertibkan bahan yang digunakan untuk reklamasi.

Selama ini, pihak-pihak yang hendak melakukan reklamasi kerap menyedot beberapa pulau di Indonesia karena belum ada peraturan yang menyebutkan kalau yang diambil harus pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur.

Trenggono mengatakan, rezim ini berbeda dengan rezim 20 tahun yang lalu, di mana saat ini pemerintah akan mulai mengatur bahwa yang diambil haruslah material sedimen.

"Rezim ini berbeda dengan 20 tahun yang lalu. Karena pada waktu itu belum ada peraturan kalau yang diambil itu sedimentasi.

Yang diambil itu pulau-pulau. Sekarang ini itu terjadi. Kita setop," katanya dalam konferensi pers di kantor KKP, Jakarta Pusat, Rabu (31/5/2023).

Trenggono kemudian mengatakan bahwa pihaknya pernah melakukan beberapa upaya pengehentian akan penyedotan pulau.

"Kita pernah menghentikan penyedotan pulau Rupat di Riau. Itu kita setop. Terus kemudian ada reklamasi tanpa izin di daerah Kendari sana, kita setop.

Ada yang datang juga, 'Pak menteri saya kan ini gini,' aduh mohon maaf, ini ngelawan lingkungan. Negara kita juga yang rugi," ujar Trenggono.

Trenggono kembali menegaskan bahwa saat ini bukan rezim pertambangan. Bagi perusahaan yang ingin mengambil material sedimen, harus melalui izin sejumlah kementerian.

"Jadi, PP ini bukan rezim penambangan. Kalau dia (perusahaan) mau eksekusi, harus dapat izin dari kita. Kalau kita lihat itu enggak bisa, ya enggak boleh. Ini tidak seperti masa lalu. Ini betul-betul yang diambil yang boleh digunakan. Itu yang diatur," katanya.

Selain itu, mengenai ekspor pasir laut, disebutkan dalam Dalam Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023 bahwa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur merupakan hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan.

Salah satu pemanfaatannya, pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bunyi ayat (2).

Trenggono mengatakan, PP ini akan memiliki turunan, yaitu peraturan menteri, di mana di dalamnya merupakan hasil rumusan tim kajian yang berisikan Kementerian KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BRIN, perguruan tinggi, organisasi nirlaba seperti Greenpeace, serta elemen lainnya.

Rumusan tersebut yang kelak akan memunculkan sejumlah persyaratan apakah material sedimentasi tersebut boleh diekspor atau tidak.

"Bahwasanya kemudian ada sisa-sisa, ada yang pengen misalnya membawa keluar, silakan saja kalo tim kajian sedimentasi ini membolehkan.

Penentunya bukan dari PP ini. Penentunya adalah hasil dari tim kajian," katanya. (Kompas.com/Yohana Artha Uly/Tribunnews.com/Endrapta Pramudiaz)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas