Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Haidar Alwi Sudah Lama Ingatkan Ekspor Ilegal Nikel

Haidar Alwi dukung pemerintah yang akan mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku ekspor nikel ilegal.

Penulis: Toni Bramantoro
Editor: Endra Kurniawan
zoom-in Haidar Alwi Sudah Lama Ingatkan Ekspor Ilegal Nikel
Dok. pribadi
Foto pertemuan Presiden Jokowi dan Haidar Alwi - Haidar Alwi memberikan pandangannya perihal ekspor nikel ilegal. 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Toni Bramantoro

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Merespons sikap pemerintah yang akan mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku ekspor nikel ilegal, pakar sekaligus praktisi pertambangan Ir.Haidar Alwi, MT menyampaikan dukungannya.

"Aktivitas ekspor tersebut menjadi ilegal karena sejak 2020 pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel sebagai salah satu langkah hilirisasi sektor pertambangan," ungkap Haidar Alwi, Rabu (19/7/2023).

Haidar menjelaskan betapa nikel memang menggiurkan. Revolusi kendaraan listrik menjadikan nikel sebagai mineral yang sangat berharga di masa depan.

Logam berwarna putih keperak-perakan dengan sedikit semburat keemasan itu merupakan komponen yang dominan dalam pembuatan baterai mobil listrik. Nikel diyakini mampu menyimpan daya lebih baik dibandingkan bahan lainnya.

"Sebagai negara penghasil nikel terbesar di dunia yang menguasai 30 persen pasokan global pada tahun 2020, Indonesia berambisi untuk menjadi pemain penting dalam revolusi mobil listrik," papar Haidar Alwi, yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) itu.

Baca juga: Kejaksaan Agung Bakal Kembali Periksa Bos Tambang Nikel Windu Aji Susanto Terkait Kasus BTS Kominfo

Haidar Alwi, yang dikenal sebagai salah satu pendiri kelompok relawan Jokowi, menjelaskan latar belakang permasalahan nikel yang terjadi sekarang ini.

BERITA REKOMENDASI

Terhitung sejak 1 Januari 2020, Pemerintah Indonesia resmi melarang ekspor nikel yang berbentuk bahan mentah. Uni Eropa yang tidak terima dengan kebijak tersebut bahkan sampai melayangkan gugatan. Namun, Presiden Jokowi tidak gentar dan berkali-kali menegaskan keseriusannya itu, termasuk menghadapi potensi gugatan dari World Trade Organization (WTO).

"Dengan mengolah bijih nikel di peleburan dan pemurnian di smelter dalam negeri, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan yang jauh berlipat ketimbang mengapalkan bijih nikel yang masih berupa 'bahan mentah'. Dengan adanya hilirisasi industri nikel, nilainya bisa meningkat hingga 7 kali lipat jika diolah jadi sel baterai. Dan jika menjadi mobil listrik akan meningkat lebih besar lagi sampai 11 kali lipat," tutur pendiri Haidar Alwi Care yang juga dikenal sebagai tokoh anti intoleran tersebut.

Dalam catatan Haidar Alwi, pada tahun 2020 Indonesia sama sekali tidak mengekspor bijih nikel. Namun, fakta di lapangan sangatlah berbeda. Dalam artikel yang diterbitkan Reuters pada Rabu (20/1/2021), sebanyak 3,4 juta ton atau setara dengan USD 193,6 juta bijih nikel asal Indonesia masuk ke Cina sepanjang tahun 2020. Data ini bersumber dari General Administration of Customs People's Republic of China (GACC) atau Bea Cukai Cina.

Dengan rata-rata nilai tukar JISDOR 2020 Rp 14.577 per USD, nilai impor bijih nikel tersebut setara dengan Rp 2,8 triliun. Walaupun jumlah tersebut turun 85,8 persen dibanding tahun 2019, Indonesia masih menjadi negara terbesar ke-dua yang memasok nikel bagi Cina setelah Filipina 31,98 juta ton. US Internasional Trade Commission dalam Executive Briefings on Trade, Mei 2021, menyebut, sebagian besar nikel yang diekspor Indonesia ke Cina masih berbentuk bahan mentah.

Baca juga: Menko Luhut Minta KPK Usut Temuan Ekspor Ilegal 5 Juta Ton Nikel ke China: Itu Tidak Susah

Beberapa analis membongkar bagaimana nikel asal Indonesia 'diselundupkan' ke Cina. Diduga ekspor dari Indonesia tercatat sebagai bijih besi dengan kode HS 2601, sedangkan tercatat di Bea Cukai Cina sebagai bijih nikel dengan kode HS 2604.


Menurut analis CRU Ellie Wang, pengiriman ini biasanya terdiri dari bijih yang memiliki kandungan nikel 1% dan besi lebih dari 50%. Keterangan tersebut kemudian diaminkan oleh analis BMO Colin Hamilton.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus menelusuri, menindak tegas dan menutup celah yang ada. Karena selain berpotensi merugikan negara Rp 2,8 triliun per tahun, masalah tersebut juga menjadi hambatan dalam mewujudkan cita-cita Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai pemain penting kendaraan listrik di masa depan.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas