Stasiun Kereta Cepat di Karawang Tak Punya Akses ke Jalan Utama, Komisi V DPR: Ini Kekacauan Proyek
Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan lambannya penyelesaian infrastruktur pendukung berupa akses jalan dari dan menuju Stasiun Karawang.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Suryadi Jaya Purnama menyayangkan akses Stasiun Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) ke Jalan Tol dan Jalan utama yang saat ini belum dirampungkan Pemerintah, terutama untuk Stasiun Karawang.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir juga sempat menyampaikan lambannya penyelesaian infrastruktur pendukung berupa akses jalan dari dan menuju Stasiun Karawang.
Lantaran pembangunan baru difokuskan di Stasiun Padalarang dan Tegalluar.
Baca juga: Ridwan Kamil : Beroperasinya KCJB Akan Tingkatkan Perekonomian di Karawang, Padalarang dan Tegalluar
“Otomatis, pembangunan akses jalan tersebut menjadi lamban, tidak sinkron dengan operasional KCJB yang akan diresmikan Agustus tahun 2023 ini,” papar Suryadi dalam pernyataannya dikutip, Minggu (6/8/2023).
“Kita menyayangkan lemahnya koordinasi di dalam Kementerian BUMN,” sambungnya.
Menurut Suryadi, hal ini menunjukkan kacaunya perencanaan proyek KCJB.
Dimana pada saat awal proyek berjalan, BUMN yang bertanggung jawab tidak sesuai dengan bidangnya.
Diketahui, konsorsium BUMN Indonesia untuk KCJB dengan nama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) terdiri dari PT Wijaya Karya (kepemilikan Saham 38 persen), PT Kereta Api Indonesia (25 persen), PT Jasa Marga (12 persen) dan PT Perkebunan Nasional VIII (25 persen).
Walaupun saat ini dengan penyertaan modal negara yang diberikan pada PT KAI menempatkan PT KAI sebagai pemimpin konsorsium, tetapi perancangan awal konsorsium ini terlihat bahwa proyek ditangani oleh BUMN yang bukan ahli di bidang Perkeretaapian.
“Kekacauan pelaksanaan proyek ini juga telah menyebabkan pembengkakan biaya sebesar 1,2 miliar dollar AS atau setara Rp 18 triliun (kurs rupiah Rp15.000),” jelasnya.
Penyebab membengkaknya menurut Suryadi antara lain adalah studi kelayakan proyek belum mencantumkan penjadwalan akuisisi lahan.
Hal ini berdampak penyelesaian proyek sulit diprediksi, dan biaya pembebasan lahan yang hanya memperkirakan panjang trase dan harga petak tanah yang berada di lintasan membuat luas lahan yang dibebaskan lebih besar dari rencana.
Oleh karena itu, dengan banyaknya masalah yang terjadi di proyek KCJB ini, pihaknya meminta agar Pemerintah berhenti membuat kegaduhan dan saling menyalahkan.
“Sebaiknya, Pemerintah fokus pada solusi operasional KCJB yang akan di-launching bulan Agustus ini," papar Suryadi.
"Pemerintah harus mengantisipasi segala hal agar keselamatan dan kelancaran perjalanan penumpang terjamin. Jangan sampai ada pembangunan yang tertinggal lagi,” pungkasnya.