SKK Migas Gencar Cari Investor, Antisipasi Status Indonesia Jadi Net Importir di 2042
Nilai investasi hulu migas kian meningkat semenjak Covid-19 di tahun 2020 hingga 2021 dan 2022.
Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SKK Migas tengah menggenjot investor untuk meningkatkan produktivitas industri minyak dan gas (Migas) dalam negeri untuk mengantisipasi potensi Indonesia menjadi net importir gas di tahun 2042 mendatang.
Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf mengatakan nilai investasi hulu migas kian meningkat semenjak Covid-19 di tahun 2020 hingga 2021 dan 2022. Adapun di tahun ini nilai investasinya sekitar 15,6 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
"Harapannya seiring dengan investasi meningkat, nanti temuan eksplorasi juga meningkat, produksi meningkat karena projek-projek on stream juga dinaikan dengan kegiatan investasi ini. Terutama soal longterm kita mendapatkan cadangan baru," kata Nanang dalam Media Briefing di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Dikatakan Nanang, sektor hulu migas ini tak lepas dari peran investor. Sekalipun di negara maju seperti di Amerika Serikat.
Dia bilang kalau hampir di seluruh negara, industri migas ini tak bisa dikerjakan oleh negaranya sendiri. Pasti ada patner yang menjadi pendorong dari luar.
"Pasti ada investor asingnya, pasti ada patner dari luar mau di amerika, di Amerika tidak semua perusahaan Amerika, disitu ada perusahaan Inggris, Italia, Spanyol. Jadi semua negara tidak ada satupun yang betul-betul mengerjakan hulu migas sendiri dengan perusahaan nasionalnya sendiri tidak," jelas dia.
Nanang mengatakan, termasuk Indonesia khususnya di daerah-daerah Indonesia Timur yang membutuhkan investasi tinggi meskipun memiliki risiko tinggi pula. Artinya, hanya bisa dikerjakan oleh perusahaan yang kelasnya major atau super major.
Baca juga: Kejar Target Produksi Migas 1 Juta BOPD, Pertamina Drilling Kembali Garap Lapangan Banyu Urip
Nanang bilang, pemerintah harus memberikan situasi yang kondusif agar investor nyaman berinvestasi di Indonesia.
"Karena apa, karena kalau tidak ada investasi masuk sayang sekali area-area yang harusnya bisa dikerjakan untuk dilakukan dieksplorasi, mendapat cadangan baru, itu tidak bisa kita unlock," ucap dia.
"Perusahaan nasional tidak cukup dengan tantangan sedemikian besar, jadi tetap yang namanya kolaborasi di industri migas ini itu adalah is a must sudah menjadi keharusan," sambungnya.
Baca juga: SKK Migas: Pengembangan Lapangan Migas Perlu Dipercepat Untuk Penuhi Kebutuhan Domestik
Sebelumnya, Nanang juga bilang, untuk meningkatkan produktivitas industri migas perlu dilakukan pengembangan lapangan migas seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia, sesuai Visi Indonesia 2045.
Kata Nanang, jika pengembangan lapangan migas terus tertunda, maka diperkirakan di tahun 2042 Indonesia akan menjadi negara pengimpor net migas.
"Mengacu pada BP Outlook 2021, Reserves to Production gas Indonesia dua kali lebih besar dibanding minyak bumi. Potensi gas harus segera diproduksikan sehingga kekhawatiran potensi menjadi net importir gas di 2042 tidak terjadi," kata Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf.
"Dan produksi gas terus meningkat memenuhi kebutuhan domestik hingga mampu mendukung pencapaian target net emission zero di 2060," imbuhnya.
Baca juga: Target Lifting Minyak 625 Ribu BOPD di 2024, SKK Migas: Lebih Realistis
Dari sisi salur gas, alokasi gas untuk domestik juga terus mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Bahkan sejak 2012, porsi salur gas bagi sektor domestik lebih besar dibanding alokasi untuk ekspor.
Hingga Juni 2023, produksi gas nasional yang dialokasikan untuk domestik di tahun ini mencapai 3.636,82 BBTUD. Sementara porsi gas yang diekspor mencapai 1.960,71 BBTUD.
"Pemerintah berkomitmen untuk terus memenuhi kebutuhan dalam negeri, di mana salur gas untuk domestik saat ini sudah mencapai 65 persen," ujarnya.