SKK Migas: Pengembangan Lapangan Migas Perlu Dipercepat Untuk Penuhi Kebutuhan Domestik
Nanang Abdul Manaf mengatakan, pengembangan lapangan migas itu dilakukan seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara PDB terbesar dunia
Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan, Indonesia perlu mempercepat pengembangan lapangan migas untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat.
Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf mengatakan, pengembangan lapangan migas itu dilakukan seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia, sesuai Visi Indonesia 2045.
Kata Nanang, jika pengembangan lapangan migas terus tertunda, maka diperkirakan di tahun 2042 Indonesia akan menjadi negara pengimpor net migas.
Baca juga: Kejar Target Produksi Migas 1 Juta BOPD, Pertamina Drilling Kembali Garap Lapangan Banyu Urip
"Mengacu pada BP Outlook 2021, Reserves to Production gas Indonesia dua kali lebih besar dibanding minyak bumi. Potensi gas harus segera diproduksikan sehingga kekhawatiran potensi menjadi net importir gas di 2042 tidak terjadi," kata Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf.
"Dan roduksi gas terus meningkat memenuhi kebutuhan domestik hingga mampu mendukung pencapaian target net emission zero di 2060," imbuhnya.
Dari sisi salur gas, alokasi gas untuk domestik juga terus mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Bahkan sejak 2012, porsi salur gas bagi sektor domestik lebih besar dibanding alokasi untuk ekspor.
Hingga Juni 2023, produksi gas nasional yang dialokasikan untuk domestik di tahun ini mencapai 3.636,82 BBTUD. Sementara porsi gas yang diekspor mencapai 1.960,71 BBTUD.
"Pemerintah berkomitmen untuk terus memenuhi kebutuhan dalam negeri, di mana salur gas untuk domestik saat ini sudah mencapai 65 persen," ujarnya.
Adapun berdasarkan hasil riset dan analisis Rystad Energy, produksi gas alam dari lapangan-lapangan yang ada sekarang diperkirakan hanya berkontribusi sebesar 35 persen dari total produksi yang dibutuhkan.
Baca juga: Produksi Migas Pertamina Hulu Energi di Semester I 2023 Mencapai 1.046 Ribu Barel
Nilai itu setara untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam 20 tahun ke depan. Sementara 65 persen sisanya berasal dari produksi lapangan-lapangan gas baru.
"Data ini menunjukkan peran penting kegiatan eksplorasi secara masif dan pengembangan lapangan migas baru untuk menunda beban impor," kata Country Head Indonesia Rystad Energy, Sofwan Hadi.
Sofwan bilang, sejauh ini beberapa lapangan gas baru sedang dalam proses pengembangan, antara lain Lapangan Andaman di lepas pantai Aceh, Lapangan Mako di kawasan Natuna, IDD Fase 2 (Gendalo dan Gendang) di Kalimantan Timur, Asap Kido Merah di Papua dan Lapangan Abadi, Masela di Maluku.
Produksi gas dari lapangan-lapangan yang baru dikembangkan tersebut diproyeksikan akan memberikan kontribusi sekitar 60 persen bagi produksi gas nasional di 2030, dan naik menjadi 80 persen di 2035.
Namun kata Sofwan, tanpa dibarengi penemuan cadangan baru dan pengembangan lapangan, lonjakan produksi gas nasional dikhawatirkan hanya terjadi sesaat, sebelum kemudian mengalami penurunan menjelang 2040.
Padahal, volume konsumsi gas diperkirakan naik 298 persen pada tahun 2050 seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia.
Terlebih dalam era transisi energi menuju net zero emission di 2060, peranan gas akan semakin kuat, oleh karena itu pengembangan lapangan gas harus segera di lakukan.
"Perusahaan eksplorasi dan produksi migas memegang peranan penting dalam proses pengembangan lapangan melalui percepatan FID (Final Investment Decision) mengingat mayoritas proyek yang ada masih berada pada fase penemuan cadangan (pre-FID)," kata Sofwan.