Pemerintah Perlu Perhatikan Kelas Jalan dan Jembatan Timbang Terkait Zero ODOL
Pemilik barang, pengusaha truk dan supir angkutan barang juga mengeluhkan fasilitas di jembatan timbang yang kurang memadai.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perbaikan sejumlah infrastruktur penunjang harus menjadi perhatian pemerintah sebelum menerapkan zero ODOL (Over Dimension Overloaded).
Saat ini, pemerintah bersama stakeholder terkait sedang menyusun roadmap Zero ODOL.
Perbaikan sejumlah infrastruktur tersebut diharapkan dapat dimasukan ke dalam peta jalan Zero ODOL yang tengah disusun itu.
Baca juga: Operasi Truk ODOL, Jasa Marga Jaring 210 Kendaraan di Ruas Tol Jakarta-Tangerang
Penerapan Zero ODOL akan percuma tanpa perbaikan infrastruktur penunjang utama yaitu ketersediaan jembatan timbang atau yang dikenal dengan istilah Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) di semua wilayah.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang mengatakan, terkait jembatan timbang persoalan yang ada bukan hanya pada ketersediaan atau jumlah jembatan timbang di berbagai wilayah.
Pemilik barang, pengusaha truk dan supir angkutan barang juga mengeluhkan fasilitas di jembatan timbang yang kurang memadai, mulai dari lahan parkir yang terbatas hingga tidak adanya gudang penyimpanan barang yang memadai bila barang terpaksa diturunkan akibat kelebihan beban.
"Seharusnya jembatan timbang ada di setiap daerah mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten-kota. Keberadaan jembatan timbang akan memastikan bahwa truk yang melintas sudah sesuai dengan kapasitas tonase jalan yang tersedia,” kata Deddy dalam keterangannya, Kamis (31/8/2023).
Dia melanjutkan, truk logistik akan melintas di kelas jalan yang berbeda-beda setiap mengangkut barang dari satu daerah ke daerah lain.
Pasalnya, sambung dia, tidak mungkin semua jalan yang dilintasi angkutan logistik ditingkatkan hingga ke taraf nasional menyusul otonomi daerah.
Fungsi jembatan timbang itu juga sebagai lokasi pungutan pajak bagi pemerintah untuk truk obesitas.
Namun, dia menekankan bahwa penegakan hukumnya harus berjalan dengan benar alias tidak ada pungutan liar (pungli) di setiap jembatan timbang.
"Dulu ada, kalau semisal membayar itu bukan membayar sogok, denda-denda itu resmi sebagai pemasukan daerah, tapi sekarang pemasukan pemerintah pusat," katanya.
Dia melanjutkan, truk yang obesitas nantinya bisa membayar denda setelah diukur dengan jembatan timbang menyesuaikan bobot kelebihan. Denda itu kemudian dapat dipakai oleh pemerintah setempat untuk perbaikan jalan di daerah.
Jembatan timbang sebelumnya berada pada naungan Dinas Perhubungan Provinsi, akan tetapi sekarang UPPKB sudah di ambil alih pengoperasiannya oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Dia melanjutkan, pemerintah juga harus memberikan subsidi atau diskon tol kepada angkutan logistik, khususnya pengangkut sembako di samping mengenakan denda terhadap truk ODOL.
Dia mengungkapkan bahwa sopir truk kerap lebih memilih jalan non-tol lantaran lebih murah meskipun banyak biaya retribusi terhadap kelompok atau ormas tertentu.
Padahal, jalan tol terbilang lebih aman dari oknum tersebut namun mahal di tarif.
Dia mengatakan, subsidi tersebut diberikan guna meringankan beban tarif angkutan yang berdampak pada stabilitas harga pangan di masyarakat.
"Jadi tidak ada alasan bagi para penjual (untuk menaikan harga) karena tarif transport naik-kan sudah disubsidi, jadi sudah nggak ada alasan untuk naik,” katanya.
Disamping itu, Deddy mengatakan bahwa peningkatan kelas jalan juga perlu dilakukan terhadap ruas yang kerap dilalui kendaraan logistik. Namun, sambung dia, hal itu dilakukan berdasarkan permintaan pemerintah setempat ke pemerintah di atasnya.
Dia melanjutkan, peningkatan bisa dilakukan berdasarkan kepentingan nasional. Artinya, apabila jalan tersebut kerap dilalui angkutan logistik nasional maka lebih baik ditingkatkan untuk mengikuti bobot angkutan yang melintas.
Terkait kelas jalan, Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan Wimpy Santosa menilai bahwa kendaraan ODOL tidak selalu menjadi penyebab kerusakan jalan. Ketidaksesuaian spesifikasi di lapangan menjadi penyebab kerusakan jalan yang berulang kali terjadi.
Profesor Wimpy mencontohkan, salah satunya adalah penggunaan aspal hotmix yang tidak sesuai spek karena pemanasan yang terlalu tinggi sehingga akan mengubah karakteristik aspal. Artinya, aspal itu tidak sesuai lagi digunakan untuk standar pembuatan jalan sehingga menjadi lebih cepat rusak.
Selain itu, air juga menjadi musuh utama jalan sering rusak. Dia mengatakan, desain pembuatan jalan dilakukan tidak secara utuh dan tidak memiliki drainase.
Dia menjelaskan, dana pembuatan drainase di Indonesia kerap tidak turun berbarengan dengan konstruksi jalan. Kondisi itu membuat jalan tergenang air dan saat anggaran drainase tersedia dan ingin dibuat maka jalannya sudah rusak.
"Selalu berputar pada lingkaran setan seperti itu. Ini fakta-fakta di lapangan," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.