Aneka Kejanggalan Investasi Xinyi di Pulau Rempang yang Diklaim Bahlil Bernilai Rp 175 Triliun
Berbagai temuan kejanggalan tersebut didapat NCW dari hasil penyelidikan dan pengumpulan informasi dari banyak pihak.
Editor: Choirul Arifin
"Apakah hanya untuk menggoreng saham Xinyi Glass Holding Limited agar naik dan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan jahat ‘investasi bodong’ perusahaan pabrik kaca asal Tiongkok tersebut?” ucap dia.
Ia menilai, pada akhirnya Xinyi kena batunya usai bentrokan terjadi antara masyarakat Pulau Rempang dan aparat.
Bahkan, adanya kejadian itu diduga membuat saham mereka turun sampai 20 persen pada 26 September 2023 lalu.
Baca juga: Menteri Bahlil Klaim Masyarakat Rempang Setujui Investasi Xinyi Rp 174 Triliun
Saham Xinyi naik pada 29 September 2023 usai Menteri Investasi Bahlil Lahadalia secara tegas menyatakan investasi Rempang Eco City tetap akan dilanjutkan dengan empat poin petunjuk dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Ini sangat terencana dan tertata rapi bahwa Xinyi ini akan dinaikkan namanya, dibuat seolah-olah ini perusahan besar," kata Hanifa.
"Yang dikatakan target berikutnya membangun pabrik kaca terbesar, sehingga investor akan memperebutkan membeli sahamnya," sambung dia.
Pihaknya turut menyoroti studi Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) Proyek Eco City Rempang yang belum dituntaskan.
Di mana terindikasi dari undangan Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam, Nomor B-4392/A2.1/PT.02/09/2023 tentang Konsultasi Publik Penyusunan Dokumen AMDAL Kawasan Rempang Eco City.
“Ini menjadi pertanyaan publik selanjutnya, apakah sebuah mega proyek bisa dilaksanakan dan dianggap sudah melewati proses kajian yang komprehensif sehingga layak untuk diteruskan?” tuturnya.
Iklan untuk Anda: Lagu Mandarin Fei Niao He Chan, Kerinduan Ren Ran pada Kekasih Seperti Burung dan Jangkrik
Advertisement by
NCW juga menyoroti pernyataan Menteri Bahlil yang mengeklaim bahwa hanya 20 persen masyarakat Rempang yang tak setuju dipindahkan serta sebagian besar menolak lantaran tidak memiliki alas hak atas tanahnya.
“Namun rakyat di lapangan, menurut hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi dari sumber terpercaya dan pengaduan masyarakat ke DPP NCW, 80 persen masyarakat Pulau Rempang yang memiliki alas hak SHM, menolak untuk dipindahkan atau direlokasi ke lokasi baru,” kata dia.
Temuan berikutnya terkait pembiayaan relokasi serta penggusuran tanah masyarakat Pulau Rempang yang belum dialokasikan pemerintah pusat ataupun BP Batam.
Menurut Hanifa, kondisi ketidaksiapan anggaran menimbulkan tanda tanya besar publik.
"Kenapa masyarakat dipaksa segera pindah jika anggaran relokasi belum tersedia?” ujarnya.
Selanjutnya, temuan perihal awal mula konflik lahan di Pulau Rempang terjadi pada 2001 bermula dari diterbitkannya HPL (Hak Pengelolaan Lahan) oleh pemerintah pusat dan BP Batam.