IMF: Perang Hamas-Israel Berdampak ke Perekonomian Negara-negara Timur Tengah
IMF menyatakan perekonomian negara-negara Timur Tengah akan terdampak oleh perang antara Israel-Hamas.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan perekonomian negara-negara Timur Tengah akan terdampak oleh perang antara Israel-Hamas.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan perang Israel-Hamas kemungkinan akan merugikan negara-negara lain di sekitarnya, termasuk Mesir, Lebanon dan Yordania.
“Saluran dampaknya sudah terlihat,” kata Georgieva ketika ditanya wartawan mengenai dampak ekonomi dari perang di Timur Tengah.
“Pariwisata kemungkinan besar akan terpukul dan biaya asuransi pergerakan barang akan meningkat. Investor juga akan lebih berhati-hati dalam melakukan perjalanan ke wilayah tersebut, dan terdapat risiko peningkatan jumlah pengungsi di negara-negara yang sudah menerima lebih banyak pengungsi,” sambungnya.
Dia juga menyoroti dampak perang terhadap perekonomian global kemungkinan akan semakin besar, meskipun pasar keuangan masih relatif optimis terhadap dampaknya saat ini.
Suku Bunga Tinggi Jadi Hambatan
Meskipun terdapat peningkatan risiko di wilayah tersebut akibat perang, konferensi investasi tahunan Arab Saudi telah menarik perhatian sejumlah nama terkemuka di Wall Street, beberapa di antaranya memberikan komentar suram terhadap perekonomian global dalam sebuah diskusi pada Rabu (25/10/2023).
Sentimen serupa juga disampaikan oleh Georgieva, di mana ia mengatakan perang di Timur Tengah terjadi pada saat “pertumbuhan melambat,” suku bunga tinggi dan utang publik meningkat, setelah pemerintah mengeluarkan banyak uang untuk meredam dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian mereka.
Baca juga: China Desak Gencatan Senjata di Gaza dan Siap Lakukan Apapun untuk Akhiri Konflik Palestina-Israel
“Seruan kami kepada semua orang adalah kencangkan sabuk pengaman. Pastikan Anda memahami bahwa suku bunga lebih tinggi akan bertahan lebih lama,” ujar Georgieva, merujuk pada fakta bahwa inflasi tidak turun cukup cepat.
Baca juga: Dedolarisasi di Perdagangan Rusia-China Hampir Selesai: Kini 95 Persen Pakai Rubel-Yuan
“Apa yang kami proyeksikan adalah inflasi akan tetap di atas 2 persen hingga tahun depan bahkan mungkin pada 2025 dan hanya pada saat itulah kita akan melihat tingkat suku bunga melambat ke tingkat yang seharusnya: di wilayah positif tetapi tidak terlalu tinggi,” pungkasnya.