Rupiah Pekan Depan Berpotensi Tembus Level Rp16.000 per Dolar AS, Ini Penyebabnya
Sebelumnya pada Jumat (27/10/2023) sore, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup berada di level Rp15.938.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin pekan depan (30/10/2023) berpotensi mengalami pelemahan dan tembus ke level Rp16.000 per dolar AS.
Sebelumnya pada Jumat (27/10/2023) sore, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup berada di level Rp15.938.
Jika dicermati lebih detail, nilai tukar mata uang Garuda melemah 19 poin. Di mana pada Kamis (26/10/2023), nilai tukar rupiah juga di level Rp15.917.
Baca juga: China akan Terbitkan Surat Utang 137 Miliar Dolar AS untuk Topang Perekonomian
"Rupiah masih bergerak melemah di sekitaran Rp15.900 terhadap dolar AS di pekan kemarin. Ini mengindikasikan peluang pelemahan rupiah masih terbuka, demikian juga potensi pelemahan ke area Rp16.000," ucap Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra kepada Tribunnews, Sabtu (28/10/2023).
Ia mengungkapkan, fluktuasi nilai tukar mata uang Garuda terdampak sentimen ekspektasi bahwa suku bunga Bank Sentral AS alias The Fed, yang kini masih berada di level tinggi dan belum akan segera berakhir. Hal ini disebabkan sejumlah faktor.
Pertama, ekonomi AS yang masih solid dengan produk domestik bruto (PDB) kuartal III-2023 yang pertumbuhannya jauh di atas pertumbuhan PDB kuartal II-2023 membuka peluang the Fed untuk menaikkan suku bunganya lagi atau pun mempertahankan suku bunga tingginya lebih lama lagi untuk meredam inflasi AS yang belum juga turun ke target 2 persen.
Ariston melanjutkan, pekan depan, the Fed akan memberikan keputusan mengenai kebijakan suku bunga nya yang baru.
Baca juga: Rebound, Bitcoin Tembus 30 Ribu Dolar AS, Morgan Stanley: Crypto Winter Segera Berakhir
Pasar masih berekspektasi tingkat suku bunga masih ditahan di level yang sama karena seperti yang dikatakan para pejabat the Fed sebelumnya bahwa tingkat imbal hasil obligasi AS yang tinggi sudah membantu menahan laju kenaikan harga-harga.
Selain itu pasar juga masih mempertimbangkan isu pelambatan ekonomi global.
Data-data ekonomi dari Eropa seperti data inflasi dan PDB dan juga data dari China yaitu indeks aktivitas manufaktur akan memberikan gambaran mengenai pelambatan ekonomi global tersebut.
Isu pelambatan ekonomi global ini bisa menekan harga aset berisiko seperti rupiah.
"Selain itu isu Israel Hamas atau Timur Tengah masih menjadi perhatian pelaku pasar. Ekskalasi isu bisa mendorong penguatan dolar AS sebagai aset aman," pungkasnya.