Sesuai Ramalan, Nilai Tukar Rupiah Menguat Drastis dan Kini di Level Rp15.566 per Dolar AS
Potensi penguatan bisa ke area Rp15.600 dengan potensi resisten di kisaran Rp15.800 per dolar AS.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berdasarkan data Bloomberg Spot di level Rp15.570 pada Senin (6/11/2023) pukul 09.15 WIB.
Jika dicermati lebih detail, nilai tukar mata uang Garuda Menguat drastis 157 poin.
Di mana sebelumnya pada akhir pekan kemarin (3/11/2023), nilai tukar rupiah di level Rp15.727.
Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS Melemah di Akhir Pekan, Menuju Level Rp16.000
Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra sebelumnya telah mengatakan bahwa nilai tukar mata uang Garuda ada potensi menguat pada awal pekan ini.
"Potensi penguatan bisa ke area Rp15.600, dengan potensi resisten di kisaran Rp15.800," ucap Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra kepada Tribunnews, Sabtu (4/11/2023).
Ia mengungkapkan, fluktuasi nilai tukar mata uang Garuda terdampak berbagai sentimen.
Terlebih pada kemarin Bank sentral Amerika atau The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk mengambil sikap dovish atau pelonggaran dengan mempertahankan suku bunga bulan November di level 5,25-5,5 persen.
Keputusan tersebut diambil ketua Jerome Powell ketua The Fed usai menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang dilaksanakan pada Rabu (1/11/2023).
Keputusan dovish dengan mempertahankan suku bunga dilakukan untuk memulihkan perekonomian masyarakat yang belakangan mengalami tekanan akibat sikap hawkish The Fed yang aktif menaikan laju suku bunga ke level tertinggi.
Ditambah lagi, pada kemarin (3/11/2023) telah dirilis data tenaga kerja AS versi pemerintah AS. Data yang dirilis umumnya lebih buruk dari ekspektasi pasar.
Data Non Farm Payrolls Oktober dirilis 150 ribu lebih rendah dari ekspektasi 180 ribu. Dan data tingkat pengangguran 3,9 persen lebih tinggi dari ekspektasi 3,8 persen.
Hasil ini menurut Ariston, mendorong pelemahan dollar AS terhadap mata uang utama dunia. Dan ini bisa menguatkan kemungkinan the Fed akan mengakhiri periode bunga tinggi lebih cepat.