Pengamat Ungkap Pengembangan BEV Jauh Berdampak Ekonomi Dibanding Kendaraan Hidrogen
Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia harus memaksimalkan perkembangan kendaraan listrik berbasis baterai atau BEV.
Penulis: Lita Febriani
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertumbuhan kendaraan listrik bertenaga baterai di Indonesia masih terus di dorong pemerintah. Akan tetapi, inovasi lain seperti kendaraan hidrogen atau Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) juga mulai muncul sebagai penawaran baru.
Pengembangan kendaraan FCEV juga mulai disasar beberapa pabrikan. Akan tetapi, hal ini justru dinilai kurang tepat.
Pengamat Otomotif sekaligus Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu, menyampaikan Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia harus memaksimalkan perkembangan kendaraan listrik berbasis baterai atau BEV.
Baca juga: Pameran Kendaraan Listrik PEVS 2024 Akan Digelar pada 30 April - 5 Mei
"Pertumbuhan industri BEV bagi Indonesia dapat mendorong secara signifikan pertumbuhan ekonomi lokal, menciptakan pekerjaan dan menghasilkan pendapatan ekspor yang signifikan bagi perekonomian Indonesia, karena nikel adalah komponen kunci dalam pembuatan baterai lithium-ion," tutur Yannes saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (12/11/2023).
Yannes menambahkan, FCEV merupakan konsep yang sejak lama dibawa dan terus ingin direalisasikan oleh negara-negara maju yang tidak memiliki sumber daya alam nikel sebesar Indonesia.
"Mereka (dalam hal ini Jepang) terus berupaya mengkonstruksikan para pengambil kebijakan di banyak negara agar yakin bahwa EV berbasis hidrogen adalah yang terbaik. Sebab Jepang (sudah produksi sejak 2014) dan USA (sudah mulai sejak 1966) tidak memiliki sumber daya alam nikel seperti Indonesia," jelas Yannes.
Ia juga mengungkapkan, proses untuk memproduksi hidrogen, terutama melalui elektrolisis, saat ini masih memiliki efisiensi yang relatif rendah.
Ini berarti membutuhkan lebih banyak energi untuk memproduksi hidrogen daripada energi yang nantinya bisa dihasilkan oleh hidrogen tersebut.
"Lalu, biaya produksi hidrogen, khususnya yang bersumber dari energi terbarukan juga masih sangat mahal. Belum lagi komponen penyimpan gas hidrogen bertekanan sampai dengan 200 ATM itu berbiaya tinggi. Yang jelas akan membuat harga kendaraan listrik berbasis hidrogen akan jauh lebih mahal lagi, dibandingkan dengan harga BEV yang saat ini saja kita rasakan lebih mahal 25-40 persen dari kendaraan berbasis BBM fosil untuk kelas yang sama," jabarnya