Lewat Sejumlah Inovasi, PHKT Dorong Budidaya Jamur di Kabupaten Penajam Paser Utara
Penerapan model bisnis Inti Plusma dalam program budidaya jamur merupakan satu-satunya di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara.
Penulis: Sanusi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, PENAJAM PASER UTARA – PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT) implementasikan inovasi untuk mendorong program budidaya jamur di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
Program budidaya jamur merupakan salah satu program CSR unggulan PHKT bertajuk Program Semur Cendawan (Semai Jamur dengan Cerdas dan Berwawasan Pangan) di Kelurahan Waru yang telah dimulai sejak awal 2022 lalu.
Beberapa inovasi yang diterapkan dalam program ini adalah penerapan Inovasi Sosial melalui Model Bisnis Inti Plusma dan Inovasi alat dari limbah non-B3 perusahaan, yaitu Sterilisasi Media Jamur dalam Bejana (Semenjana).
Baca juga: Siap Penuhi Kebutuhan Energi Pembangunan IKN, Pertamina Patra Niaga Sinergi dengan Kementerian PUPR
“Model bisnis inti plusma merupakan model bisnis kemitraan yang disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh pelaku usaha inti dengan memperlihatkan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan,” ujar Suwantono Widji Manager Kalimantan Field, Rabu (15/11/2023).
Suwantono menambahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang masih terbuka lebar, kelompok binaan menjalankan budidaya jamur secara komunal dengan sistem optimalisasi pemanfaatan lahan pertanian berupa intensifikasi lahan melalui budidaya jamur dan hortikultura, serta menjadi tempat pembelajaran kolektif dan inklusif atau learning center.
“Penerapan model bisnis Inti Plusma dalam program budidaya jamur ini merupakan satu-satunya di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara,” imbuhnya.
Ketua Kelompok Bintang Jamur binaan PHKT Wahab menceritakan kondisi sebelum adanya inovasi oleh PHKT pada program Semur Cendawan bahwa budidaya jamur hanya dilakukan dengan skala kecil dan upaya pemanfaatan limbah serbuk kayu tidak maksimal. Hal ini terjadi karena pada proses produksi jamur masih konvensional sehingga berdampak pada biaya produksi yang tinggi dimana mereka masih belum memiliki keterampilan untuk membuat bibit mandiri.
“PHKT telah mengubah sistem budidaya jamur yang konvensional menjadi budidaya jamur dengan produktivitas tinggi melalui penggunaan teknologi tepat guna sederhana sehingga mudah diaplikasikan dan diikuti,” ungkap Wahab.
Keberhasilan proses budidaya jamur sangat bergantung pertumbuhan miselium spora jamur yang sangat dipengaruhi oleh kondisi media tanam atau Baglog. Proses sterilisasi baglog ini akan sangat menentukan keberhasilan tumbuhnya miselium jamur.
Sebelumnya, sambung Suwantono, pada Program Semur Cendawan menggunakan cara sterilisasi konvensional dengan menggunakan drum bekas dan membutuhkan waktu sekitar 9-12 jam atau setara dengan 1 unit LPG 3 Kg untuk mensterilisasi 120 Baglog.
Proses tersebut dinilai kurang efisien dalam penggunaan energi LPG. Untuk mengatasi permasalahan tersebut PHKT DOBS berhasil menciptakan teknologi tepat guna sederhana, berupa alat yang dibuat menggunakan limbah Non-B3 PHKT berupa plat besi dan penggunaan insulasi yang maksimal yang mampu menghemat energi hingga 50 persen.
“Dengan kapasitas alat tersebut, sebanyak 240 Baglog dengan proses sterilisasi yang berlangsung sekitar 4-5 jam saja maka penghematan energi dari gas LPG 3 kg mencapai 50. Alat ini pun telah didaftarkan untuk mendapatkan paten sederhana di HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual),” jelas Suwantono.
Sejak dicetuskannya program Semur Cendawan, menurut Suwantono, pola pikir masyarakat sekitar terhadap permasalahan alih fungsi lahan dapat diubah melalui aksi pemanfaatan lahan yang tersisa dengan kegiatan intensifikasi.
“Budidaya jamur ini pun mampu menyelesaikan permasalahan limbah serbuk kayu yang ada di Kelurahan Waru, dengan demikian budidaya jamur dapat menjadi solusi atas beberapa permasalahan sekaligus, serta menjadi pendorong kesejahteraan petani melalui penambahan sumber pendapatan baru dari budidaya jamur”, pungkasnya.