Dampak Konflik Laut Merah, Pengusaha China Akui Bisnis Terganggu Hingga Terancam Bangkrut
Serangan milisi Houthi di Laut Merah yang kian memanas, tak hanya memicu kerugian bagi raksasa pelayaran global
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Serangan milisi Houthi di Laut Merah yang kian memanas, tak hanya memicu kerugian bagi raksasa pelayaran global namun juga memukul pendapatan sejumlah eksportir asal Tiongkok.
Hal tersebut diungkap oleh Han Changming eksportir mobil asal Fujian,Tiongkok. Dalam keterangan tertulisnya juru bicara Han mengatakan kepada Reuters bahwa serangan Houthi terhadap kapal – kapal kargo di Laut Merah telah mengancam kelangsungan perusahaan dagangnya.
Sebelum konflik pecah, perusahaan otomotif ini biasa mengekspor mobil buatan Tiongkok ke Afrika dan mengimpor kendaraan off-road dari Eropa.
Baca juga: Nyaris Sendirian di Laut Merah, AS Tak Bisa Diandalkan Lindungi Perdagangan Maritim Internasional
Namun setelah Houthi melancarkan serangan, raksasa pelayaran mulai menaikan tarif kargo imbas pengalihan rute dari Laut merah ke Tanjung Harapan demi menghindari tembakan rudal Houthi.
Tindakan Yaman ini tentu saja bisa dianggap melanggar hukum internasional dan kebebasan maritim dunia. Namun Yaman melakukan aksi ini sebagai balasan atas aksi Israel di Gaza. Yaman menyatakan baru akan berhenti jika aksi Israel di Gaza dihentikan.
“Ketika Houthi di Yaman meningkatkan serangan, pengiriman barang dan kontainer ke Eropa melonjak menjadi 7.000 dolar AS dari sebelumnya 3.000 dolar AS pada bulan Desember. Gangguan ini telah menghapus keuntungan kami yang sudah tipis,” jelas juru bicara Han.
Hal senada juga turut dikeluhkan pengusaha Tiongkok lainnya seperti Yang Bingben, produsen katup untuk keperluan industri manufaktur asal Wenzhou Tiongkok timur.
Pemilik Yang Bingben mengungkap konflik panas di Timur Tengah membuat para kliennya di Shanghai memangkas pesanan dari semula 75 katup kini menjadi 15, imbas dari melonjaknya biaya pengiriman kargo akibat pengalihan rute pelayaran.
“Dampaknya sangat besar, perusahaan telah menyiapkan bahan mentah yang tidak bisa dikembalikan karena sudah diolah, namun pesanan dari para klien menurun. Itu membuat saya merugi dan kehilangan uang,” ujar CEO Yang Bingben .
Baca juga: CEO Saudi Aramco Ramal Pasar Minyak Bakal Makin Ketat Seiring Meningkatnya Krisis di Laut Merah
“Saya khawatir ancaman ini akan memicu pemangkasan staff karena perusahaan tidak mempunyai cukup gaji untuk diberikan kepada mereka,” imbuhnya.
Mike Sagan, wakil presiden rantai pasokan pabrik KidKraft yang berbasis di Shenzhen, pembuat peralatan bermain di luar ruangan dan mainan kayu, mengatakan banyak pelanggan Eropa yang menginjak rem dengan mengatakan:"Jangan kirimkan apa pun, tunggu".
Sementara itu, di Tiongkok selatan, Wei Qiongfang, perusahaan pengiriman barang yang berbasis di Guangzhou, menjelaskan tengah berjuang menghadapi krisis stok lantaran beberapa pemasok menunda pengiriman barang akibat serangan Houthi Yaman.
Persoalan serupa juga dialami produsen pakaian olahraga premium KTC. Ia mengungkap gangguan Laut Merah telah membuat sejumlah cabang yang ada di kota Dongguan, Pearl River Delta, Gerhard Flatz terancam mengalami kebangkrutan imbas dari menyusutnya margin perusahaan.
Pasar Global Terancam Hadapi Inflasi
Belum diketahui kapan konflik ini akan berakhir, namun apabila gangguan di Laut Merah terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama hal tersebut tentunya akan menambah tekanan pada perekonomian Tiongkok yang saat ini sedang berjuang menghadapi krisis properti serta lemahnya permintaan konsumen di tengah lesunya pertumbuhan global.
“Pecahnya salah satu rute pelayaran tersibuk di dunia ini telah memperlihatkan kerentanan perekonomian Tiongkok yang bergantung pada sektor ekspor, terlebih para eksportir China banyak yang mengandalkan rute ini untuk melayani perdagangan menuju Eropa dan Afrika,” ujar analis perdagangan Tiongkok.
Analis di Independent Economics dan mantan kepala ekonom di Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) John Llewellyn mengatakan konflik di kawasan itu juga dapat menjadi gangguan serius terhadap perdagangan dunia.
Lantaran biaya pengiriman kargo via laut maupun udara mengalami lonjakan tarif. Hal itu tentunya akan mendorong kenaikan inflasi di sejumlah negara. Jika ini terjadi, bank sentral mungkin harus menghentikan langkahnya, menggagalkan ekspektasi pasar akan kebijakan moneter yang lebih longgar.