Program Food Estate Jokowi Dianggap Gagal? Pendahulunya Juga Pernah Melakukan
Program Food Estate dianggap gagal oleh cawapres no urut 1 Muhaimin Iskandar dan Cawapres no urut 3 Mahfud MD.
Editor: Hendra Gunawan
"Seluruh Food Estate di Indonesia melanggar kaidah-kaidah akademis, melanggar 4 pilar yang ada semua, harus perfect semua," tutur dia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Debat calon wakil presiden (cawapres) kedua yang diselenggarakan Minggu (21/1/2024) berlangsung panas saat para cawapres membicarakan program food estate.
Program Food Estate dianggap gagal oleh cawapres no urut 1 Muhaimin Iskandar dan Cawapres no urut 3 Mahfud MD.
Akan tetapi cawapres no urut 2 yang juga anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menganggap bukan gagal karena masih berproses sebagai program jangka panjang.
Ternyata program Food Estate ini bukanlah program di masa Jokowi seorang, sebelumnya juga ada pendahulunya yang melakukan program sama. Dan dianggap gagal juga.
Baca juga: Guru Besar IPB: Seluruh Proyek Food Estate Gagal karena Langgar Kaidah Akademis!
Mereka adalah Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam progran tersebut, tanaman pangan, penunjang pangan, juga hewan ternak diproduksi, disediakan pasarnya, dibantu proses produksinya seperti ketersediaan bibit, pupuk, dan obat-obatan.
Dikutip dari Kompas.com, Research Associate CORE Indonesia sekaligus Guru besar IPB Dwi Andreas Santosa menyebutkan ada beberapa program Food Estate yang dinilai gagal di Indonesia.
1. Proyek Lahan Gambut 1 juta hektare (1996)
Ia mengatakan, pada 1996 Indonesia memiliki program Food Estate seluas 1,4 juta hektar di Kalimantan bernama Proyek Lahan Gambut. Saat itu ia adalah bagian dari tim analisis risiko lingkungan untuk proyek tersebut. Food Estate ini mendatangkan 15.000 pekerja transmigran pada 1998 untuk menggarap lahan seluas 30.000 hektar.
"Lalu kemudian di tahun 1999, dibatalkan proyek tersebut oleh Badan Perencanaan Nasional," ujar dia dalam CORE Economic Outlook Sectoral 2024, Selasa (23/1/2024).
Ia menceritakan, waktu itu, proyek Food Estate ini menelan anggaran pemerintah Rp 6 triliun. Sedikit catatan, pada 2015 lahan gambut bekas Food Estate ini menjadi pusat kebakaran hutan dan lahan terbesar di Indonesia dengan 125 titik.
Baca juga: Sekjen Gerindra: Food Estate Program Keniscayaan untuk Jadikan Indonesia Cadangan Pangan Dunia
2. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) 1,23 juta hektar (2008) Proyek
Food Estate juga pernah dicoba kembali pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Food Estate yang terletak di Merauke, Papua ini bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek Food Estate ini diketahui menarik 37 investor saat itu.
"Caranya bagaimana membagi-bagi lahan di Merauke untuk 37 investor? Hasilnya apa? Saya sempat bicara dengan salah satu investor, dia cerita 'dulu saya datang ke Merauke sebagai gajah, keluar sebagai semut'. Gagal total'," terang dia.
Berdasarkan catatan Kompas.com, dalam program ini Kementerian Pertanian mencanangkan luas areal seluas 2,5 juta hektar dan direkomendasikan Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Nasional (BKPRN) sebesar 1.282.833 hektar atau sekitar 30 persen dari luas wilayah Kabupaten Merauke
3. Food Estate Bulungan 300.000 hektar (2013)
Selanjutnya, ada juga Food Estate Bulungan yang memiliki luas 300.000 hektar. Program ini mulai diinisiasi pada 2013. Nahasnya, Food Estate ini terletak di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara ini juga tak berbuah hasil. "Gagal juga," ujar Dwi.
4. Food Estate Ketapang 100.000 hektar (2013)
Food estate ini terletak di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Program yang dicanangkan dapat menjadi lumbung padi ini juga disebut Dwi sebagai Food Estate yang gagal.
5. Rice Estate 1,2 juta hektar (2015)
Dalam proyek ini, Dwi berperan untuk memberi masukkan terkait jumlah tanah yang dapat dikonversi menjadi Food Estate. Merauke sendiri secara keseluruhan memiliki luas 4,6 juta hektar. Dari jumlah tersebut, luasan yang diusulkan adalah 1,2 juta hektar. "Hasilnya apa? ya nol besar," ungkap dia.
6. Food Estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah
Proyek Food Estate yang ada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah ini juga dinilai Dwi sebagai Food Estate yang gagal.
Hal ini lantaran Food Estate berada di lahan pasir yang memiliki lapisan kedap pada kedalaman 40 cm.
"Bagaimana bisa tanaman bisa tumbuh dengan baik di tanah pasir, bukan tanah berpasir, ya pasir sebenarnya. Kemampuan mengikat unsur hara tidak ada, kemampuan mengikat air tidak ada," terang dia.
Adapun ia menbeberkan, supaya Food Estate ini seolah-olah berhasil, ditanam jagung di polybag yang disebut bernilai Rp 54 miliar. Secara umum Dwi menjelaskan, semua program Food Estate yang gagal tersebut lantaran program dijalankan dengan melanggaran kaidah akademis.
"Seluruh Food Estate di Indonesia melanggar kaidah-kaidah akademis, melanggar 4 pilar yang ada semua, harus perfect semua," tutur dia.
Adapun 4 pilar yang dimaksud adalah kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan sosial dan ekonomi, serta kelayakan teknologi.
"Empat pilar ini harus ada semua, harus perfect semua, sebelum proyek tersebut bisa berjalan dan menguntungkan. Satu saja dari pilar ini tidak diikuti, maka jawabannya pasti, pasti gagal," tandas dia.
Ungkapan Cawapres no. 3 dan Cawapres no. 1
Kegagalan soal Food Estate juga diungkapkan oleh Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD saat debat berlangsung.
Mahfud MD mengatakan program Food Estate yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah gagal.
Bahkan food estate juga merusak lingkungan.
"Tetapi saya tidak melihat pemerintah melakukan langkah-langkah untuk menjaga kelestarian lingkungan. Maka kami punya program petani, di laut jaya, nelayan sejahtera. jangan seperti food estate yang gagal dan merusak lingkungan, yang bener aja, rugi dong kita," kata Mahfud.
Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyatakan, pemerintah telah gagal menghentikan kerusakan hutan dan food estate.
"Sampai hari ini saya setuju dengan Pak Mahfud tidak ada keseriusan dan kesungguhan untuk itu. Bahkan mau menyediakan pangan nasional saja kenapa tidak melibatkan petani, malah juga melakukan penggundulan hutan dan gagal lagi," kata Cak Imin.
"Karena apa, karena tidak melibatkan masyarakat adat setempat juga tidak melibatkan para petani, bahkan merusak keanekaragaman hayati kita," imbuh dia menegaskan.
Menurut Cak Imin, yang menjadi alat ukur dalam mengurangi deforestasi itu adalah melakukan penghijauan atau reforestasi.
Kata dia, terkait dengan penghentian kerusakan hutan dan food estate ini adalah menyoal keberpihakan. Keberpihakan kepada pembangunan yang berbasis keberlanjutan.