GIPI Bakal Buat Surat Edaran ke Pengusaha Jasa Hiburan Agar Ikuti Tarif Pajak yang Lama
Surat edaran diperlukan agar pelaku usaha jasa hiburan tetap bisa bertahan sembari menunggu kepala daerah setempat mengeluarkan diskresi kebijakannya.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) akan mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan pajak hiburan yang tengah menjadi polemik di kalangan pengusaha.
Pajak hiburan yang tengah menjadi polemik ini tertuang dalam dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 58 Ayat (2) terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
"Kami akan mengeluarkan surat edaran kepada seluruh pelaku usaha jasa hiburan yang terkena dari pasal 58 ayat 2 ini," kata Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).
Baca juga: Pengusaha Industri Pariwisata Resmi Gugat Pajak Hiburan ke Mahkamah Konstitusi
Surat edaran tersebut, kata dia, pada intinya adalah mengimbau para pelaku usaha jasa hiburan untuk membayar tarif pajaknya mengikuti tarif yang lama.
Menurut dia, surat edaran ini diperlukan agar pelaku usaha jasa hiburan tetap bisa bertahan sembari menunggu kepala daerah setempat mengeluarkan diskresi kebijakannya.
"(Diskresi kebijakan) yaitu melalui insentif fiskal sebagaimana diatur di dalam pasal 101 Undang-undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau HKPD," ujar Hariyadi.
Ia mengatakan, hingga hari ini GIPI masih memonitor keberadaan insentif fiskal tersebut. Dia bilang, belum ada kepala daerah yang mengeluarkannya. "Belum ada yang keluar secara tertulis," ungkap Hariyadi.
Maka dari itu, GIPI mengeluarkan surat edaran sebagai langkah pihaknya nenyamakan sikap dan operasional para anggotanya.
Sebab, jika nanti pelaku usaha jasa hiburan membayar sesuai dengan tarif yang baru, Hariyadi memastikan mereka pasti akan mengalami kesulitan, bahkan bisa berhenti operasi.
"Nah, kami menghindari itu. Makanya, kami membuat surat edaran bahwa posisi kita adalah tetap membayar pajak hiburan, tetapi mengikuti sementara ini tarif yang lama," ujar Hariyadi.
Adapun pada hari ini, GIPI resmi melayangkan gugatan undang-undang pajak hiburan ke Mahkamah Konstitusi.
Harapan GIPI dalam Pengujian Materil ini bahwa Mahkamah Konstitusi dapat mencabut Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022.
Sehingga, penetapan Tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang termasuk dalam Jasa Kesenian dan Hiburan adalah sama, yaitu antara 0- 10 persen.