Ekonom Soroti Struktur Tarif Cukai yang Dorong Konsumsi Rokok Murah Meningkat
penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) senilai Rp213,48 triliun hingga akhir 2023, atau menurun 2,35 persen year-on-year dibandingkan dengan periode
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Risky Kusuma Hartono, sepakat bahwa fenomena pembelian rokok yang lebih murah dimungkinkan, jika dilihat dari struktur tarif yang masih berlapis saat ini.
Hal ini menurutnya lumrah terjadi pada masyarakat usia produktif dengan gaji di bawah UMR karena harga rokok di pasar masih sangat bervariasi dan dapat menjadi pilihan lain bagi konsumen.
“Downtrading memungkinkan sekali (terjadi) karena konsumen keberatan dengan kenaikan harga. Padahal, kita berharap kenaikan cukai ini membuat perokok memutuskan berhenti merokok. Harapannya kesana, makanya 8 golongan ini masih ada kelemahannya, tidak membuat konsumennya berhenti merokok tetapi malah membeli produk rokok yang harganya lebih murah,” ucapnya.
Risky menjelaskan struktur tarif CHT yang tidak efisien berakibat pada manfaat cukai itu sendiri, sebagai pengendalian konsumsi.
Selain itu, pendapatan negara menjadi kurang optimal dengan adanya struktur cukai yang berlapis di 8 golongan. Menurutnya, rokok adalah produk inelastis di mana ketika harganya dinaikkan, pembelinya pun masih ada. Namun, dari sisi pengendalian dan penerimaan menjadi tidak maksimal karena variasi tarif rokok yang berlaku di pasaran.
Baca juga: Cegah Penerimaan Negara Tergerus, Pemerintah Diminta Hati-Hati Tetapkan Cukai Rokok 2025
“Sebenernya kalau ingin semakin tidak terjangkau, kenaikan harga rokok harus di atas inflasi,” ungkapnya.
Sehingga dalam hal ini, ia menilai menjadi penting bagi pemerintah untuk membenahi struktur cukai lebih sederhana agar manfaatnya menjadi lebih optimal baik dari sisi pengendalian maupun penerimaan negara.
“Harapannya, dari 8 struktur tarif yang ada, gapnya bisa terus didekatkan tidak dalam kurun waktu yang terlalu lama. Batasan produksi juga perlu didekatkan gapnya untuk mengurangi risiko industri mengakali batasan jumlah produksinya,” jelasnya.