Pemberlakuan PPN 12 Persen Akan Tekan Daya Beli, Jadi PR Berat Pemerintahan Prabowo
Rencana pemerintah menerapkan tarif pajak pertambahan nilai atau tarif PPN 12 persen dikhawatirkan akan menekan daya beli.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah menerapkan tarif pajak pertambahan nilai atau tarif PPN 12 persen dikhawatirkan akan menekan daya beli.
Ini akan jadi PR berat bagi pemerintahan Prabowo Subianto yang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) diumumkan sebagai pemenang Pilpres 2024.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan, dari sisi kebijakan fiskal, penerapan PPN 12 persen, bakal memiliki dampak siklus yang panjang yaitu kenaikan biaya produksi dan konsumsi yang menekan daya beli sehingga utilisasi dan penjualan melemah.
Tentunya, kebijakan tersebut akan berpengaruh pula pada menurunnya penyerapan tenaga kerja, pendapatan dan konsumsi yang menurun dan menghambat pemulihan ekonomi serta menekan pendapatan negara.
"Kita perlu akselerasi pertumbuhan ekonomi, serta menjaga konsistensi prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu pemerintahan baru harus menunda kenaikan PPN 12 persen, serta mengurangi efek volatile food karena inflasi," ungkap Tauhid dalam keterangannya, Sabtu (23/3/2024).
"Dan diharapkan dapat mendorong reindustrialisasi dan mempertahankan pertanian sebagai prioritas pembangunan yang akan datang," sambungnya.
Tauhid melanjutkan, calon pemerintahan yang baru juga sudah mencanangkan program makan siang gratis.
Di mana anggarannya dinilai dapat membebani Anggaran Pendapatan dan Pendapatan Negara (APBN) atau bahkan mengorbankan program prioritas lain seperti kesehatan dan infrastruktur yang sudah berjalan baik di era Joko Widodo.
Baca juga: Tarif PPN Naik pada 2022 Bikin Inflasi Melonjak, Bakal Terjadi Lagi di 2025?
"Jadi tantangannya adalah memilih prioritas program yang berhadapan dengan ketersediaan anggaran yang ada. Pemerintahan baru harus bisa menjaga keberlanjutan fiskal," imbuh Tauhid.
Terakhir, terkait pertumbuhan ekonomi nasional berada direntang 6-8 persen dinilai terlalu ambisius, mengingat terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
Tauhid sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan stagnan dikisaran angka 5 persen di 2024.
Baca juga: Diduga Curangi Meteran, Dispenser SPBU Rest Area KM 42 Tol Jakarta-Cikampek Disegel
Menurut Tauhid, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih relatif stagnan lantaran masih dihantui ketidakpastian ekonomi global.
Hal ini tentunya memberikan pengaruh pada harga komoditas ekspor utama Indonesia.
Selain itu, harga pangan dunia masih di atas rata-rata harga sebelum pandemi melanda dan sulit untuk turun ke harga semula.
Baca juga: Sektor Industri Belum Pulih, Pengusaha Minta Kelonggaran Pembayaran THR
"Artinya kalau 2025 harus 6 persen itu sangat tidak masuk akal. Begitu pula kalau pertumbuhan ekonomi dikaliberkan sampai 7 persen apa lagi 8 persen, ini berat banget," ujar Tauhid.
"Pekerjaan rumah dan tantangan terbesar adalah memperbaiki konsumsi masyarakat, daya saing ekspor, hingga mempertahankan keberlanjutan fiskal," pungkasnya.