Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Tak Hanya Bisnis, Sate Kere Yu Tari Tumbuh jadi Pelestari Makanan Penuh Histori Kota Solo

Sejarawan Heri Priyatmoko menyebut sate kere merupakan bentuk perlawanan kaum bawah terhadap bangsawan dan orang kaya dalam budaya feodal Kota Solo.

Penulis: Imam Saputro
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in Tak Hanya Bisnis, Sate Kere Yu Tari Tumbuh jadi Pelestari Makanan Penuh Histori Kota Solo
TribunSolo/Imam Saputro
Lapak Sate Kere Yu Tari di Pasar Takjil Ramadhan 2024 Solo. Kini Sate Kere Yu Tari tengah mengembangkan cabang ketiga di Kota Solo 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Imam Saputro

TRIBUNNEWS.COM, SOLO  - Sejarah suatu kota sering kali tercermin di hidangan khas yang ada dari zaman dulu hingga masa sekarang.

Sebagai contoh adalah sate kere, hidangan khas Solo berupa satai atau sate berbahan utama jeroan sapi dan tempe gembus.

Jeroan sapi seperti babat, iso, kikil, usus, hati sapi, dan tempe gembus ini dibakar lalu disiram dengan bumbu kacang.

Di balik kelezatannya, sate kere ini tak hanya sebatas makanan tradisional.

Ada perjuangan masyarakat Solo di balik terciptanya sate kere.

Dari namanya "kere" berarti miskin, tidak punya uang, juga bisa diartikan gelandangan.

Berita Rekomendasi

Arti "kere" mengambarkan isi dari hidangan sate tersebut.

Sate kere khas Solo.
Sate kere khas Solo. (TRIBUNSOLO.COM/ BAYU ARDI ISNANTO)

Bahan yang digunakan adalah bahan-bahan kualitas nomor dua, seperti jeroan dan tempe gembus.

Tempe gembus adalah tempe yang terbuat dari ampas pembuatan tahu.

Sedangkan jeroan pada masa penjajahan, adalah " limbah" dari daging.

Pada masa itu, daging adalah makanan yang sangat mewah hanya bisa disantap oleh bangsa kolonial dan para priayi.

Masyarakat pribumi yang ingin makan sate, mengasah kreativitasnya dan menciptakan sajian sederhana dari bahan pangan yang mereka punya.

Jeroan sapi dipilih, karena bagi bangsa kolonial dan para priayi dianggap limbah pangan.

Sejarawan Heri Priyatmoko ketika berbincang dengan Tribunnews.com, awal Maret 2024 menyebut sate kere merupakan bentuk perlawanan kaum bawah terhadap bangsawan dan orang kaya dalam budaya feodal Kota Solo.

“Istilah kere yang berarti gelandangan atau miskin jadi salah satu pencitraan ke kalangan bawah yang terlalu sayang untuk membeli setusuk sate daging, alasan tersebut jadi awal kreativitas untuk mengolah jeroan dan tempe gembus,” kata Heri.

Sate kere, kata Heri, juga merupakan perwujudan perlawanan dari kalangan bawah kepada kalangan bangsawan dalam budaya feodal.

“Di masa kolonial, bahan sate kere dijauhi pembesar Eropa dan kaum bangsawan, di meja hidangan di rumah aristokrat dan tuan kulit putih jika ditemukan gembus dan jeroan adalah suatu pantangan,” jelasnya.

Sejatinya sate kere merupakan potret budaya tanding (counter-culture), yang jika dihayati secara mendalam, pengertian budaya tanding dalam konteks kuliner bisa memunculkan sifat kompetisi yang sehat dan kreatif. 

“Pihak wong cilik yang merasa kalah dalam urusan makan, tidak lantas frustrasi dan ngamuk, namun membalasnya dengan menciptakan kreasi baru, jadilah sate kere yang rasanya juga ternyata enak,” kata dia.

Namun kini kuliner yang dianggap ‘murahan’ ini naik daun. 

Sate yang semula merupakan cerminan dari kelas bawah untuk menyaingi sate daging kini telah menjadi makanan sate bagi semua kalangan.

“Sekarang jadi makanan yang sering dicari wisatawan, mungkin karena keunikannya, selain rasanya memang enak juga,” terangnya.

Heri mengatakan sate kere masih bisa ditemukan hingga zaman kiwari karena diwariskan turun temurun dan kalangan yang menyantapnya masih terus ada.

“Pewaris hidangan ini di garda terdepan ada mbok-mbok di rumah memasak untuk anak cucunya, juga ada para pedagang kuliner tradisional,” beber Heri.

Menurut Heri, para penjual kuliner tradisional ini selain ada di aspek penjualan, pedagang inilah yang menyimpan pengetahuan soal resep makanan tersebut.

“Aspek lain yang pokok ialah proses regenerasi produsen bapak ke anak ke anaknya lagi dan seterusnya, itu sudah mampu mereka lewati,” ujar Heri yang juga mengajar sejarah di  Universitas Sanata Dharma, Jogja ini.

Satu di antara pelestari makanan tradisional ini adalah Yu Tari, penjual sate kere yang sudah berjualan puluhan tahun.

“Awalnya dari mbah ke bapak, lalu turun ke saya, sekarang jualan di Shelter Seopomo dan di Jalan Honggowongso,” kata Yu Tari kepada Tribunnews.com, Minggu, 24 Maret 2024.

Yu Tari mengakui menjual sate kere dengan resep turun menurun dari leluhurnya.

Dengan harga jual 25 ribu rupiah per porsi, sate kere buatannya jadi altenatif makanan khas Solo yang sering diburu wisatawan.

“Sehari kami bisa ribuan tusuk, apalagi kalau musim liburan,” terangnya.

Yu Tari yang merupakan UMKM binaan BRI Slamet Riyadi ini tengah mengembangkan cabang ketiga sate kere di derah Gentan,

Anak sulungnya, Hanafi yang dipercaya untuk memegang usaha keluarga ini.

“Saya kemarin ambil KUR BRI untuk permodalan awal di Gentan, untuk mengembangkan usaha di cabang ketiga,” kata Hanafi.

Hanafi bersemangat untuk membuka cabang barunya karena Sate Kere kini makin banyak peminatnya.

“Sate Kere salah satu makanan khas Solo, jadi saya ikut senang jadi bagian yang masih bisa melestarikan makanan tradisional Solo ini,” kata Hanafi.

Sebagai UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) binaan BRI, cabang baru Sate Kere Yu Tari langsung mendapatkan fasilitas pembayaran non tunai QRIS dan akses permodalan serta bergabung dalam ekosistem bisnis BRI.

BRI dorong UMKM naik kelas

Kepala Pimpinan Cabang BRI Slamet Riyadi Agung Ari Wibowo menyatakan BRI terus mendukung UMKM Solo untuk naik kelas.

“Akses permodalan dan ekosistem pendampingan kami kembangkan terus, contohnya penjual bakso yang binaan kami akan kami hubungkan dengan pemasok sapi yang juga binaan kami, jadi harganya lebih murah,” kata Agung.

Agung mengatakan hingga Maret 2024, BRI Slamet Riyadi memiliki kurang lebih 300 UMKM binaan dengan berbagai macam jenis usaha.

“Ada beberapa yang jadi andalan kami jika ada acara pameran, seperti Dawet telasih Hj Sipon, Sate Kere Yu Tari hingga Pentol Monster,” ungkap Agung.

Pihaknya membuka lebar-lebar UMKM Solo yang ingin menjadi binaan BRI.

“Ini tak semata urusan KUR saja, ada mantri BRI yang bisa jadi financial advisor bagi teman UMKM, dan ada ekosistem bisnis yang sangat menguntungkan teman UMKM,” jelasnya.

Agung menyebut, hingga akhir 2023 lalu, BRI Solo Slamet Riyadi telah menyalurkan KUR hampir Rp1 triliun. 

Sementara untuk penyaluran KUR BRI secara umum telah mencapai sekitar Rp1,545 triliun. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas