Tak Hanya Bisnis, Sate Kere Yu Tari Tumbuh jadi Pelestari Makanan Penuh Histori Kota Solo
Sejarawan Heri Priyatmoko menyebut sate kere merupakan bentuk perlawanan kaum bawah terhadap bangsawan dan orang kaya dalam budaya feodal Kota Solo.
Penulis: Imam Saputro
Editor: Tiara Shelavie
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Imam Saputro
TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Sejarah suatu kota sering kali tercermin di hidangan khas yang ada dari zaman dulu hingga masa sekarang.
Sebagai contoh adalah sate kere, hidangan khas Solo berupa satai atau sate berbahan utama jeroan sapi dan tempe gembus.
Jeroan sapi seperti babat, iso, kikil, usus, hati sapi, dan tempe gembus ini dibakar lalu disiram dengan bumbu kacang.
Di balik kelezatannya, sate kere ini tak hanya sebatas makanan tradisional.
Ada perjuangan masyarakat Solo di balik terciptanya sate kere.
Dari namanya "kere" berarti miskin, tidak punya uang, juga bisa diartikan gelandangan.
Arti "kere" mengambarkan isi dari hidangan sate tersebut.
Bahan yang digunakan adalah bahan-bahan kualitas nomor dua, seperti jeroan dan tempe gembus.
Tempe gembus adalah tempe yang terbuat dari ampas pembuatan tahu.
Sedangkan jeroan pada masa penjajahan, adalah " limbah" dari daging.
Pada masa itu, daging adalah makanan yang sangat mewah hanya bisa disantap oleh bangsa kolonial dan para priayi.
Masyarakat pribumi yang ingin makan sate, mengasah kreativitasnya dan menciptakan sajian sederhana dari bahan pangan yang mereka punya.
Jeroan sapi dipilih, karena bagi bangsa kolonial dan para priayi dianggap limbah pangan.