Asal Usul THR di Indonesia, Ada sejak 1950 Berawal dari Protes Buruh yang Tuntut Keadilan Upah
THR untuk para pekerja di Indonesia muncul berkat usulan dari Soekiman Wirjosandjojo yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-6.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM – Pembagian tunjangan hari raya (THR) menjadi salah satu budaya yang paling ditunggu-tunggu oleh para pekerja di Indonesia menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Mengutip laman Kominfo, THR sendiri merupakan pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruh menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Adapun kebijakan pembagian THR di Indonesia diatur dalam surat edaran PerMenaker No. 6 Tahun 2016.
Dalam SE tersebut, THR Keagamaan dibayarkan sesuai hari raya keagamaan pekerja atau buruh, paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan dilaksanakan.
THR Sudah Ada sejak Tahun 1950
Sebagaimana data dalam video yang diunggah akun Linked Shawn Corrigan, pembagian THR sudah ada di Indonesia sejak tahun 1950 silam.
Namun saat itu THR hanya diberikan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara itu, buruh belum menerima THR di Hari Raya.
THR lebaran, pertama kali dimulai pada era kabinet Partai Masyumi, THR muncul berkat usulan dari Soekiman Wirjosandjojo yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-6.
Besaran THR Zaman Dulu
Pada masa itu tunjangan hari raya diberikan pemerintah Indonesia kepada pegawai PNS sebesar Rp 125 - Rp 200 perak atau setara dengan gaji pokok pegawai.
Selain THR dalam bentuk uang, Kabinet Soekiman juga memberikan tunjangan dalam bentuk beras yang diberikan ke pegawai negeri sipil.
Baca juga: Kemnaker Buat Posko THR Layani Konsultasi dan Pengaduan, Catat Ini Nomor yang Bisa Dihubungi
Pembayarannya pun dilakukan tepat di akhir Ramadhan, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai atau aparatur negara.
Berawal dari Protes Buruh
Namun Lambat laun budaya ini telah memicu kecemburuan sosial para buruh.
Para buruh menganggap bahwa pihaknya tidak diberikan apresiasi yang sepadan atas kerja kerasnya untuk membangkitkan perekonomian nasional.
Alasan ini yang membuat para buruh geram, hingga mereka kompak menggelar gelombang protes membesar. Bahkan pada 13 Februari 1952, para buruh melakukan aksi mogok kerja.
Kaum pekerja atau buruh kompak melayangkan protes dan menuntut pemerintah untuk memberikan tunjangan yang sama seperti Pamong Praja.