Smelter Timah Disita, Pakar Hukum UI: Perlu Ada Langkah Strategis yang Tidak Memicu Polemik
Junaedi Saibih mengatakan, perlu adanya langkah strategis yang tidak menimbulkan polemik serta kerugian bagi masyarakat banyak
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sedang dirasakan karyawan pabrik smelter timah di Bangka Belitung.
Hal ini imbas dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang telah menyita sebanyak lima smelter buntut dari kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP milik PT Timah Tbk periode 2015-2022, dengan taksiran kerugian lingkungannya mencapai Rp 271 triliun.
Ketua Departemen Hukum Acara Universitas Indonesia Junaedi Saibih mengatakan, perlu adanya langkah strategis yang tidak menimbulkan polemik serta kerugian bagi masyarakat banyak, termasuk kerugian ekonomi akibat tidak berjalannya smelter.
Baca juga: Realisasi Investasi di Sektor Hilirisasi Kuartal I Capai Rp 75,8 Triliun, Smelter Nikel Mendominasi
“Setelah menyita, Kejaksaan bisa mengelola dan merawat itu nggak? Karena yang namanya orang menyita itu nggak cuma disita, tapi setelah itu dirawat biar nggak rusak. Jadi untuk melakukan penyitaan itu tidak hanya sikap keras saja yang diambil, tapi harus dipikirkan bagaimana pengelolaan dan pemeliharaannya,” ujar Junaidi kepada awak media, Sabtu (27/4).
Menurut dia, dibanding melakukan penyitaan smelter yang berdampak pada masyarakat luas, sebaiknya aparat penegak hukum disarankan untuk memempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan langkah hukum. Pasalnya, penyitaan smelter yang sudah dilakukan telah berdampak pada kehidupan bermasyarakat Bangka Belitung.
“Saya selalu tidak setuju adanya penyitaan terhadap alat produksi. Jangan disita kalau akhirnya tidak ada pergerakan, kalau ngga ada pergerakan maka ngga ada hasil produksi, berarti orang tidak kerja, dengan begitu maka akan terjadi pengangguran terbuka, yang kemarin ratusan PHK jumlahnya bisa bertambah lagi,” kata Pakar Hukum UI itu.
Berdasarkan informasi yang diterima Junaidi, rata-rata smelter melakukan PHK antara 500 hingga 600 orang pekerja. Jika dijumlahkan 5 smelter, maka jumlahnya mencapai ribuan pekerja.
Angka tersebut belum termasuk dengan penambang rakyat yang terganggu pekerjaannya, jumlahnya bisa mencapai 10.000 orang lebih.
Baca juga: Kejagung Sita 5 Smelter dan Mobil Mewah pada Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Suami Sandra Dewi
Junaidi mengatakan, selain dampak terhadap PHK pekerja, perlu ada langkah taktis dalam menyikapi kerugian ekologis yang disebut-sebut mencapai Rp 271 triliun.
Ia menilai aktivitas tambang pasti akan menyebabkan kerusakan lingkungan, namun ada keuntungan ekonomi yang diperoleh masyarakat maupun pendapatan pemerintah.
Untuk itu, perlu langkah lanjutan dalam meminimalisir kerugian, misalnya dengan perjanjian reklamasi.
“Yang harus dilakukan kalau menurut saya yaitu, dengan melakukan NPA, non- Prosecution agreement. Jadi bagaimana perusahaan-smelter yang sudah melakukan aktivitas pertambangan tadi dibuat satu agreement, dihitung kerugian dari aktivitasnya dan bersama-sama membuat skema perbaikan reklamasi,” imbuhnya.
Dia menilai, hal tersebut jauh lebih efektif, dibandingkan harus mengambil langkah yang keras untuk pemidanaan atau penuntutan. Itu merupakan salah satu cara dalam metode restoratif justice yang bisa diambil.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup HKTI Bangka Belitung Elly Rebuin menilai bahwa langkah Kejaksaan Agung dalam proses hukum perlu cepat, sehingga tidak mengganggu perekonomian masyarakat.
Pasalnya, saat ini banyak masyarakat yang kesulitan untuk bekerja karena mata pencahariannya terganggu, baik sebagai penambang rakyat maupun pekerja smelter.
Baca juga: Pantau Perusahaan Smelter Miliknya di Luwu, Jusuf Kalla Pastikan Sudah Bisa Berproduksi
"Masyarakat ini kan perlu makan, kalau tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, maka pendapatannya hilang dan yang dikhawatirkan kriminalitas meningkat,” kata Elly.
Elly sangat menyayangkan, ketika masyarakat butuh bekerja demi mendapatkan uang, Kejaksaan Agung baru-baru ini justru menyita smelter yang menjadi pemurnian hasil tambang masyarakat. Alhasil, masyarakat makin kesulitan untuk menyerahkan hasil tambangnya.
Meski rencananya bakal dikelola Kementerian BUMN atau PT Timah, namun Elly mempertanyakan kemampuan PT Timah dalam proses pembelian.
Seperti diketahui, Kejagung telah menyita lima perusahaan smelter dari kasus korupsi ini. Kelima smelter timah itu yakni milik PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Venus Inti Perkasa (VIP), PT Tinindo Internusa (Tinindo), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), yang keempatnya berada di Kota Pangkalpinang.
Sedangkan smelter kelima ialah, milik PT Refind Bangka Tin (RBT) yang beralamat di Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka.
Boleh beroperasi
Kepala Badan Pemulihan Aset Kejagung RI, Amir Yanto mengatakan lima smelter tersebut tetap akan dikelola atau dioperasikan agar tidak rusak.
Juga supaya tetap memberikan peluang usaha dan pekerjaan kepada masyarakat.
"Agar tetap memberikan peluang usaha dan kerja untuk masyarakat yang di Babel ini, yang 30 persen mata pencaharian dari timah," kata Amir Yanto, Selasa (23/4/2024).
Lima smelter itu tetap beroperasi dengan catatan semua yang dilakukan bersifat legal dan pihak terkait secepat mungkin akan mencari solusi yang terbaik.
"Sehingga kegiatannya legal, tidak melanggar peraturan dan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan," katanya.
Sebelumnya Jampidsus Kejagung RI telah melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap lima smelter di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), terkait dengan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
artikel ini sudah tayang di Kontan dengan judul Kejagung Sita Smelter Timah, Gelombang PHK Menimpa Karyawan