PHK di Industri Tekstil Nasional Diperkirakan Terus Berlanjut
Daya saing di industri tekstil memang terus menurun, terlihat dari banyaknya relokasi pabrik merek pakaian jadi global.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia diprediksi akan terus berlanjut hingga 2026.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai daya saing di industri tekstil memang terus menurun, terlihat dari banyaknya relokasi pabrik merek pakaian jadi global.
"Mereka ke Vietnam, Bangladesh, bahkan ke Ethiopia," ujar Bhima saat dihubungi, Jumat (21/6/2024).
Menurut Bhima, mereka memilih pindah dari Indonesia karena ongkosnya relatif tinggi, termasuk dari sisi biaya logistik. Faktor selanjutnya, yakni keberpihakan pemerintah terhadap industri tersebut masih diragukan.
"Belum ada konsistensi dan cenderung loncat-loncat, jadi belum selesai mendorong industrialisasi di pakaian jadi alas kaki, kemudian langsung masuk hilirisasi nikel. Sehingga tidak memiliki fokus dan industri manufaktur seperti sektor yang kekurangan stimulus dan insentif dari sisi pemerintah," kata Bhima.
Lalu, dari sisi industri tekstil yang terdesak oleh barang-barang impor. Baik yang masuk dari jalur legal maupun jalur jalur tikus atau jalur gelap. Di mana barang-barang yang dijual secara impor baik di ritel, e-commerce, jauh lebih murah sehingga merugikan pelaku usaha domestik.
"Dan ini membuat insentif menjadi importir, reseller itu lebih besar dibandingkan jadi produsen industri pengolahan," tutur Bhima.
Baca juga: PHK Makin Meluas, Usai Libas Industri Tekstil Kini Pekerja di Sektor Mebel dan Farmasi Pengangguran
Sedangkan, faktor lainnya dipengaruhi kondisi makro ekonomi seperti suku bunga yang tinggi, hingga daya beli masyarakat khususnya kelas menengah yang rendah.
"Ada masalah nilai tukar rupiah melemah, yang membuat bahan baku yang sebagian besar impor masih mahal."
"Banyak industri pengolahan berguguran, dan gelombang PHK massal diperkirakan akan terus terjadi sampai dua tahun ke depan kalau tidak ada perbaikan signifikan dari sisi kebijakan pemerintah yang berpihak kepada domestik," terang Bhima.
Hingga Juni 2024, sebanyak 5 pabrik tekstil memutuskan menutup operasionalnya. Akibatnya, 10.800 pekerja jadi korban PHK.
Baca juga: Permendag 8 Dituding Biang Kerok Maraknya PHK di Industri Tekstil, Mendag Zulkifli Hasan Tak Terima
Berdasarkan laporan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) berikut rincian data pabrik tektil yang tutup hingga Juni 2024.
Di antaranya, PT. Kusumahadi Santosa yang memproduksi kain (Weaving, Finishing dan Printing (500-an karyawan) di Karanganyar, Jawa Tengah.
Lalu, PT. Kusumaputra Santosa yang memproduksi benang (400-an karyawan) di Karanganyar, Jateng. Kemudian, PT. Pamor Spinning Mills yang memproduksi benang (700-an karyawan) di Karanganyar dan PT Alenatex Tekstil, di Bandung ada PHK 700-an pekerja.