Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Rupiah Makin Terpuruk, PHK Massal Hantui Industri Padat Karya Orientasi Ekspor

Kurs mata uang garuda ini tercatat yang terburuk sejak 23 Maret 2020 di mana rupiah kala itu di posisi Rp 16.575 per dolar AS.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Rupiah Makin Terpuruk, PHK Massal Hantui Industri Padat Karya Orientasi Ekspor
Tribunnews/JEPRIMA
Ilustrasi: Rupiah makin terpuruk, para pengusaha mulai khawatir terjadi PHK Massal 

Diplomat mata uang utama Jepang Masato Kanda mengatakan sebelumnya pada hari Kamis bahwa tidak ada batasan terhadap sumber daya yang tersedia untuk intervensi valuta asing, Kantor Berita Jiji melaporkan.

Sementara Bank Sentral Inggris (BoE) mempertahankan suku bunganya, dan beberapa pembuat kebijakan mengatakan keputusan mereka untuk tidak melakukan pemotongan adalah “seimbang”.

Swiss National Bank memangkas suku bunga untuk kedua kalinya sementara Bank of England membuka kemungkinan pelonggaran pada bulan Agustus setelah mempertahankan suku bunga tetap stabil.
Internal

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah sangat tidak kondusif bagi dunia usaha.

“Depresiasi rupiah secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing industri. Ini karena efek depresiasi rupiah terhadap berbagai industri relatif sama, yakni meningkatkan beban produksi existing,” ujar Shinta saat dihubungi Tribun.

Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas akan berdampak market share akan berkurang signifikan.

Selain itu juga berpotensi hilang sepenuhnya karena kompetisi pasar bila harga barang yang diproduksi meningkat) akan memiliki resiko PHK akibat pengurangan kapasitas produksi hingga penutupan usaha.

“Jadi pengurangan pekerja karena depresiasi rupiah sangat terbuka. Meskipun demikian, kami tidak memproyeksikan PHK akan dilakukan secara massive pada saat yang bersamaan dalam waktu dekat, kemungkinan PHK justru akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yang disebabkan oleh depresiasi rupiah,” ucap Shinta.

Berita Rekomendasi

Industri yang akan paling rentan mengalami PHK tentu adalah industri-industri yang memang sudah berusaha untuk bertahan di pasar, khususnya industri-industri padat karya berorientasi ekspor.

“Di satu sisi, mereka tidak memiliki demand pasar yang kuat karena pelemahan pertumbuhan ekonomi global,” terang Shinta.

Padahal beban biaya operasional atau opex terus meningkat seiring dengan kenaikan upah, suku bunga dan beban-beban opex lainnya.

Depresiasi rupiah, menurut Shinta, semakin menambah beban-beban opex ini dan berimbas pada penurunan daya saing industri tersebut di pasar ekspor.

“Untuk industri lain, yang juga vulnerable terdampak negatif produktivitasnya adalah industri-industri manufaktur yang memiliki proporsi impor bahan baku atau penolong yangg tinggi seperti industri mamin, industri automotif, industri produk elektronik, dan lain-lain,” ujar Shinta.

Shinta berujar, probabilitas terjadinya PHK di industri-industri tersebut jauh lebih kecil dibandingkan industri padat karya berorientasi ekspor karena basis pasar industri-industri ini umumnya adalah pasar domestik yang relatif stabil pertumbuhannya.

“Meskipun bila depresiasi rupiah terus berlanjut dan berimbas pada inflasi kebutuhan pokok masyarakat, ya tentu akan ikut turun juga potensi pasarnya dan membuat industri-industri manufaktur nasional yang berorientasi pasar domestik juga ikut tertekan kapabilitasnya untuk mempertahankan tenaga kerja existing,” tuturnya.

Komunikasi Objektif

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas