Tidak Cukup Satu, Penurunan Emisi di Sektor Transportasi Perlu Banyak Solusi
Dalam mengatasi penurunan emisi di sektor transportasi, Eniya mengatakan pemerintah sudah mulai mengimplementasikan program Biodiesel
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Sanusi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memandang tidak mungkin mengatasi penurunan emisi di sektor transportasi hanya melalui satu solusi.
Dalam menurunkan emisi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani meyakini hal tersebut.
"Tidak ada satu solusi untuk kita menurunkan emisi sektor tranpsotasi," katanya dalam acara The 5th Indonesia - Japan Automobile Dialogue di Hotel Sultan, Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024).
Baca juga: Pakai Mesin Diesel, Hyundai Wanti-wanti Palisade XRT Tak Boleh Minum Biodiesel
Dalam mengatasi penurunan emisi di sektor transportasi, Eniya mengatakan pemerintah sudah mulai mengimplementasikan program Biodiesel 35 persen (B35) sejak Februari 2023.
Pada tahun ini, program tersebut rencananya akan ditingkatkan menjadi 40 persen. Uji coba untuk di sektor otomotif sudah rampung, sedangkan di sektor non otomotif masih berjalan hingga Desember mendatang.
"Selanjutnya kita juga ada keinginan, tetapi masih diskusi, apakah selanjutnya B50 juga bisa diterapkan atau dengan kombinasi lain," ujar Eniya.
Wanita yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Dirjen EBTKE itu kemudian mengatakan, ada juga program bietanol yang sedang dilakukan.
Ia memandang ini menjadi satu kekuatan besar Indonesia karena negara ini memiliki sumber dayanya untuk industri bioetanol.
"Saat ini kita punya regulasi untuk etanol ada etanol 5 dan di 2029 bisa mulai juga dengan etanol 10," tutur Eniya.
"Tetapi saat ini industri etanol yang ada untuk mensuplai bahan baku masih sangat sedikit, sehingga industri bioetanol ini harus ditumbuhkan di Indoensia," lanjutnya.
Baca juga: Pemerintah Sebut Mandatori Biodiesel Sukses Hemat Devisa Negara Rp120 Triliun di 2023
Berikutnya, ia menjelaskan pemerintah sedang mendiskusikan untuk memanfaatkan biofuel jenis avtur yang bisa digunakan di sektor industri penerbangan.
Biofuel jenis avtur atau bioavtur ini dikatakan Eniya bisa dihasilkan bahan bakunya dari turunan kelapa sawit dan limbah kelapa sawit.
"Lalu kita punya resource seperti sorgum, sagu, itu juga bisa menjadi satu pemicu bahwa Indonesia bisa memimpin industri biofuel," jelas Eniya.
Bioavtur yang merupakan campuran avtur dan minyak kelapa sawit sebesar 2,4 persen ini disebut sedang dikaji kapan mulai bisa diterapkan.
Baca juga: Faisal Basri Kritisi Perbedaan Harga CPO Untuk Biodiesel dan Minyak Goreng
Dalam menggodok ini, Eniya mengatakan, pihaknya sudah mendiskusikan roadmap yang ada bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
"Saat ini sedang dikaji apakah regulasi ini bisa diterapkan atau tahun berapa kita bisa terapkan sustainable aviation fuel," katanya.
Selain itu, pada masa energi transisi ini, ia menyebut perlu adanya penguatan sektor low carbon terlebih dahulu sebelum akhirnya masuk ke free carbon society.
Untuk bisa mengarah ke free carbon society, Eniya berujar pemerintah sudah mulai memproduksi hidrogen hijau, di mana saat ini Indonesia sudah memiliki hydrogen refueling station yang berlokasi di Senayan, Jakarta.
"Ini juga kita akan mengarah ke sektor itu (hidrogen hijau) ke depan sebagai kombinasi di masa transisi ini," pungkas Eniya.