Komoditas Bawang Merah dan Ayam Ras Sumbang Deflasi RI
BPS mencatat perekonomian Republik Indonesia mengalami deflasi (penurunan harga komoditas tertentu) selama dua bulan berturut-turut.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Republik Indonesia mengalami deflasi (penurunan harga komoditas tertentu) selama dua bulan berturut-turut.
Pada Juni 2024, deflasi mencapai 0,08 persen secara bulanan terhadap Mei 2024.
Deflasi sebelumnya dari April 2024 ke Mei 2024 sebesar 0,03 persen.
Baca juga: Indonesia Alami Deflasi Pada Mei 2024, Beras Jadi Komoditas Penyumbang Utama, Ini Respons Bapanas
Namun secara tahunan year on year, inflasi terjadi 2,51 persen di Juni 2024.
"Pada Juni 2024 deflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,37 pada Mei 2024 menjadi 106,28 pada Juni 2024," kata Plt Sekretaris Utama BPS Imam Machdi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/7/2024).
Imam menyebut, deflasi Juni 2024 ini lebih dalam dibandingkan Mei 2024 dan merupakan deflasi kedua pada 2024.
Penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,49 persen serta memberikan andil deflasi sebesar 0,14 persen.
"Adapun komoditas penyumbang utama deflasi adalah bawang merah dengan andil deflasi sebesar 0,09 persen, tomat dengan andil deflasi sebesar 0,07 persen, serta daging ayam ras dengan andil deflasi sebesar 0,05 persen," ujar Imam.
Komoditas yang memberikan andil inflasi, antara lain cabe rawit dan cabe merah dengan andil inflasi masing-masing sebesar 0,02 persen.
Baca juga: Bank Dunia Revisi Perkiraan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2024, Berikut Datanya
Selain itu emas perhiasan, kentang, ketimun, sigaret kretek mesin, tarif angkutan udara, ikan segar, dan kopi bubuk memberikan andil inflasi masing-masing sebesar 0,01 persen.
Dlihat sebaran inflasi bulanan menurut wilayah, sebanyak 26 dari 38 provinsi Indonesia mengalami deflasi, sedangkan 12 lainnya mengalami inflasi.
Deflasi terdalam sebesar 1,11 persen terjadi di Papua Selatan, sedangka inflasi tertinggi terjadi di Papua Pegunungan sebesar 2,11 persen.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah menegaskan, deflasi pada dua bulan beruntun ini disumbang komoditas yang harganya mudah bergejolak (volatile food).
Harga komoditas tersebut berfluktuasi akibat pengaruh sisi penawaran.
Tingginya tingkat permintaan membut harganya menjadi turun.
Semisal, beras yang tidak lagi dominan menyumbang andil inflasi karena produksinya meningkat sepanjang panen raya padi pada April-Mei 2024.
”Libur Idul Adha yang membuat terjadi kenaikan harga acuan sejumlah pangan pokok tetapi deflasi bulanan tetap terjadi karena penawaran atau stok komoditas pangan mencukupi di tengah peningkatan permintaan komoditas itu,” ungkapnya.
Kata Habibullah, pada Juni 2024 panen padi terjadi di sejumlah daerah.
“Sehingga deflasi itu bukan karena pelemahan daya beli masyarakat,” sambung dia.
Penurunan daya beli masyarakat tersebut tetap perlu dikaji lebih lanjut dengan sejumlah indikator seperti pertumbuhan mobilitas masyarakat saat libur tahun ajaran baru pada Juni-Juli 2024.
Habibullah menilai pergerakan masyarakat pada libur sekolah akan diukur menggunakan inflasi tahunan.
”Bicara daya beli faktor musiman sudah dieliminasi dari penghitungan inflasi,” katanya.
Dorong Investasi Pertanian
Pengamat Pasar Uang Ibrahim Assuaibi menilai tingkat inflasi Juni 2024 sebesar 2,51 persen secara tahunan masih lebih rendah dibanding Mei 2024 mencapai 2,84 persen YoY.
“Nilai ini lebih rendah dibandingkan posisi April sebesar 3 persen di mana saat itu terjadi deflasi 0,03 persen pada Mei 2024 secara bulanan,” ungkapnya.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo juga mengapresiasi kinerja dan sinergitas antara Bank Indonesia bersama Pemerintah Pusat dan Daerah di dalam Tim Pengendalian Inflasi di Tingkat Pusat dan Daerah (TPIP/TPID) untuk mengendalikan inflasi.
Sehingga inflasi terkendali pada sasaran 2,5 + 1 persen sesuai target yang ditetapkan di tahun 2024.
Namun, Presiden mengingatkan untuk tetap waspada dan berhati-hati dengan memonitor secara langsung pergerakan harga pangan di lapangan mengingat adanya risiko dampak perubahan iklim global yang berpotensi mengganggu produksi pangan nasional dan dapat merembet kepada kenaikan inflasi.
Sedangkan, untuk memperkuat pengendalian inflasi ke depan.
Pemerintah harus memperkuat produksi pangan melalui optimalisasi pemanfaatan infrastruktur pengairan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, mengakselerasi penerapan teknologi berbasis riset dalam mendukung digitalisasi pertanian (smart agriculture).
“Kemudian mendorong investasi untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian, memutakhirkan sistem dan infrastruktur logistik yang terintegrasi guna mendukung kelancaran distribusi dan efisiensi rantai pasok antardaerah,” lanjut Ibrahim.
Serta memperkuat sinergi dan koordinasi antarlembaga, di tingkat pusat dan daerah, guna mendukung upaya pengendalian inflasi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.