PLTSa Putri Cempo Solo: Energi Listrik Alternatif Didapat, Gunung Sampah Dibabat
Hadirnya PLTSa Solo menjadi sumber energi listrik alternatif sekaligus menjadi solusi permasalahan sampah di TPA Putri Cempo yang menggunung.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Whiesa Daniswara
Sedangkan bahan-bahan yang tidak mempan bakar, seperti kaca, bahan bangunan, keramik, hingga besi, tidak digunakan.
“Jadi seperti plastik, kulit pisang, kayu, semua bisa, yang mempan bakar,” ungkapnya.
Untuk menjadikan sampah benar-benar kering, membutuhkan waktu setidaknya 10 hari.
“Membuat RDF atau sampah krispi itu membutuhkan proses bio drying, dan memerlukan lahan cukup,” ujarnya.
Inilah yang saat ini masih menjadi salah satu faktor belum optimalnya PLTSa Solo.
“Setelah dihitung-hitung butuh lahan 2 hektar untuk menyediakan RDF, tetapi (lokasi TPA) penuh.”
“Maka mau tidak mau gunungan sampah harus dipapras sebagai lahan pengeringan,” ujarnya.
Sehingga, lanjut Prabang, masih memerlukan waktu untuk PLTSa Putri Cempo dapat secara maksimal bekerja mengolah sampah menjadi listrik.
“Operasional baru sekitar 30 persen, dari delapan gasifier, ada 2 atau 3 gasifier yang beroperasi.”
“Agar bisa maksimal 8 MW, kira-kira November tahun ini bisa tercapai, karena kekurangan lahan untuk menyiapkan RDF sudah akan diatasi dengan penyediaan lahan pengeringan,” urainya.
Gunung Sampah Putri Cempo akan Habis dalam 4 Tahun
Prabang menjelaskan, proses PLTSa Solo akan membantu membabat ‘gunung sampah’ di TPA Putri Cempo.
“Hitungannya sekitar empat tahun, gunungan sampah di TPA Putri Cempo akan habis,” ungkap Prabang.
Nantinya, setelah gunungan sampah di TPA Putri Cempo habis, PLTSa Solo akan membutuhkan sampah tambahan.
Kekurangan sampah itu, kata Prabang, rencananya bakal ditutup dengan kerja sama penyaluran sampah dari wilayah kabupaten sekitar di Solo Raya, seperti Kabupaten Karanganyar, Sragen, Boyolali, dan Sukoharjo.