OJK Sebut 28 Platform Pinjaman Online Tak Penuhi Ekuitas Minimum, Pengamat Soroti Aturan Bunga
Nailul Huda menyoroti 28 platform pinjaman daring (online) yang tidak bisa memenuhi batas modal atau minimum ekuitas.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat ekonomi digital dari Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyoroti 28 platform pinjaman daring (online) yang tidak bisa memenuhi batas modal atau minimum ekuitas.
Diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan 28 platform pinjaman daring mengalami permasalahan memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp 7,5 miliar pada Senin (5/8/2024).
Nailul Huda menduga 28 platform pinjol itu mengalami kesulitan bisnis.
Apalagi, sejak awal tahun ini OJK menetapkan aturan baru bunga untuk P2P lending.
Dalam aturan baru tersebut, tingkat bunga pendanaan untuk sektor produktif ditentukan 0,1 persen per hari dan sektor konsumtif menjadi 0,3 persen per hari.
“Niatan OJK baik dalam pengaturan bunga supaya tidak memberatkan nasabah. Tetapi, hal ini juga pasti bisa berdampak kepada keberlangsungan bisnis P2P sendiri," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Jumat (17/8/2024).
"Angka Rp7,5 miliar harusnya tidak terlalu besar untuk platform di industri keuangan,” ujar Nailul Huda kepada media di Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Model bisnis P2P lending, menurut Nailul Huda berbeda dengan model bisnis pinjaman yang berasal dari institusi keuangan lain.
Terdapat lender (pemberi pinjaman) individu dan lender institusi dengan imbal hasil yang lebih menarik menjadi daya tarik utama bagi mereka untuk berinvestasi.
“Bila bunga terlalu rendah, bisnis ini bisa tidak berkembang dan bisa berdampak buruk pada konsumen."
"Ini karena masyarakat yang sedang membutuhkan pinjaman dana bisa terjebak dengan platform pinjaman ilegal yang rentan dengan penipuan dan praktik penagihan yang menyengsarakan konsumen,” ujarnya.
Baca juga: Biar Keuangan Tetap Aman, 5 Hal Ini Perlu Diperhatikan Sebelum Ajukan Pinjaman Online
Menurutnya, pengaturan bunga konsumtif dan produktif di angka 0,3 persen dengan transparansi biaya bisa menjadi win-win solution bagi platform dan nasabah.
“Pinjaman online kan biasanya bersifat tenor pendek, tidak seperti pinjaman konvensional yang tenor panjang."
"Penerapan bunga 0,3 persen bisa menjadi solusi supaya platform legal tetap tumbuh, OJK tetap bisa mengatur dan masyarakat terhindar dari pinjol ilegal,” tambahnya.
Diketahui, OJK melalui Peraturan Nomor 10/2022 pasal 50 mengatur penyelenggara P2P lending wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
Hingga satu tahun sejak aturan itu diundangkan, P2P lending diwajibkan memiliki paling sedikit modal Rp2,5 miliar.
Lalu, pada tahun kedua, naik menjadi Rp7,5 miliar.
Sementara, ekuitas P2P lending paling sedikit Rp12,5 miliar berlaku tiga tahun sejak aturan itu diundangkan.
Baca juga: OJK Rilis 654 Nama Pinjol Ilegal, Ini Daftarnya
Dikutip dari laman OJK, saat ini terdapat 28 dari 98 Penyelenggara P2P Lending yang belum memenuhi ekuitas minimum Rp7,5 miliar yang mulai berlaku tanggal 4 Juli 2024.
Tetapi, OJK tidak menyebutkan nama-nama platform pinjaman online itu.
"OJK terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mendorong pemenuhan kewajiban ekuitas minimum dimaksud berupa injeksi modal dari pemegang saham, maupun dari strategic investor lokal/asing yang kredibel, termasuk alternatif pengembalian izin usaha," ungkap Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, Aman Santosa, melalui rilis resmi.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)