Pengusaha Sebut PP 28/2024 Berpotensi Gerus Kinerja Industri dan Ekonomi RI, Ini Penjelasannya
Apindo menyebut kinerja industri dan perekonomian nasional bakal turut terdampak imbas adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut kinerja industri dan perekonomian nasional bakal turut terdampak imbas adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya Pengamanan Zat Adiktif.
Wakil Ketua Umum Apindo Franky Sibarani mengatakan, aturan tersebut dinilai menghambat kinerja industri yang berkaitan dengan ekosistem tembakau.
Tak hanya polemik terkait PP 28/2024, Kementerian Kesehatan menginisiasi aturan turunannya berupa Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang memuat ketentuan Kemasan Polos tanpa merek.
Baca juga: Ketua GAPPRI: Produk Tembakau dengan Kemasan Polos Tanpa Merek Dorong Rokok Ilegal Makin Marak
Ketentuan ini mewajibkan penyeragaman desain dan kemasan produk tembakau serta rokok elektronik, yang direncanakan akan disahkan pada September 2024 dan diterapkan mulai Juli 2025.
"PP ini memberatkan bagi multisektor, baik dari industri, pedagang, kemudian petani, dan sebetulnya juga konsumen," ucap Franky di Kantor Apindo, Jakarta, Rabu (11/9/2024).
"Dalam hal ini tentu kita juga diminta secara aktif memberi masukan dalam konteks dikeluarkannya aturan turunannya," sambungnya.
Baca juga: Pendapat Pengamat tentang Penjualan Rokok Harus Berjarak 200 Meter dari Satuan Pendidikan
Franky melanjutkan, industri tembakau dan turunannya memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap negara.
Mulai dari cukai, pajak, hingga serapan tenaga kerja yang sangat besar. Mengingat, industri rokok merupakan salah satu sektor padat karya.
Franky menceritakan, saat ini kondisi industri di Tanah Air tengah mengalami perlambatan.
Berdasarkan data yang dimilikinya, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir.
PMI sendiri merupakan indeks gabungan dari lima indikator utama, yang meliputi unsur Pesanan, Tingkat Persediaan, Produksi, Pengiriman, dan Tenaga Kerja.
Baca juga: Soroti PP Kesehatan, Pelaku Ekonomi Akui Telah Jalani Aturan Penjualan Rokok
Angka indeks di atas 50 berarti sektor bisnis mengalami ekspansi, di bawah 50 berarti mengalami kontraksi.
Apabila sektor industri menurun, maka dampaknya juga akan berimbas pada kondisi perekonomian nasional.
"Mengenai posisi purchasing manager index dimana sejak Maret di angka 54,2, bulan Juli sudah 49,3 dan Agustus 48. Artinya industri dalam kondisi kontraksi akibat penurunan permintaan pasar, baik global maupun dalam negeri," papar Franky.
"Artinya kalau peraturan ini akan terus ekspos maka kontraksi tersebut akan berkepanjangan. Jadi, pertumbuhan industri terhadap PDB makin turun dan menjadi keprihatinan kita semua," pungkasnya.