Permintaan Anggota DPR untuk Relaksasi Ekspor Bauksit Dinilai Tak Perhatikan Kepentingan Lebih Besar
Pelarangan ekspor bijih bauksit sejak Juni 2023 harus dipandang dari sudut pandang yang lebih luas lagi.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permintaan Anggota Komisi VII DPR Maman Abdurrahman untuk merelaksasi ekspor bijih bauksit dinilai tidak mempertimbangkan kepentingan lebih besar.
Menurut Chairman of Indonesia Mining Institute Irwandy Arief, pelarangan ekspor bijih bauksit sejak Juni 2023 ini harus dipandang dari sudut pandang yang lebih luas lagi.
"Kalau untuk kepentingan sesaat sementara, barangkali perlu dipertimbangkan bahwa kita perlu memikirkan kepentingan yang lebih besar untuk program hilirisasi dan industrialisasi kita," katanya ketika ditemui di Plaza Mandiri, Jakarta Selatan, Senin (30/9/2024).
Baca juga: Dukung Hilirisasi Bauksit, Pertamina Patra Niaga Pasok Chemical untuk Proyek Alumina Refinery
Merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Irwandy mengatakan bauksit harus diolah di dalam negeri.
Ia mengatakan, perundangan-undangan yang berlaku harus dipatuhi.
"Kita kan harus patuh pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Selama peraturan dan UU masih (mengacu) pada UU Nomor 3 Tahun 2020, itu kan tentunya masih harus diolah dalam negeri. Itu yang masih harus kita lihat," ujar Irwandy.
Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia masih mengalami defisit aluminium, yang merupakan produk turunan dari bauksit.
"Bauksit ini, kita dari bauksit ke alumina, dari alumina ke aluminium, kita masih defisit di aluminium. Kebutuhan 1 juta per tahun, kita baru produksi 250 ribu," ucap Irwandy.
Sebelumnya, Maman melayangkan permintaan ini ketika Rapat Kerja bersama Menteri ESDM pada 8 Juli 2024 lalu.
Ia meminta agar kebijakan larangan ekspor ini dievaluasi dengan mempertimbangkan dampak perekonomian daerah, salah satunya Kalimantan Barat.
Satu dari sekian tantangan dalam hilirisasi bauksit adalah tingginya biaya investasi untuk pembangunan smelter.
Kondisi tersebut membuat banyak pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) kesulitan ketika ingin membangun smelter bauksit.