PPN Naik Jadi 12 Persen, Ekonom: Pemerintah Lagi Beburu di Kebun Binatang
Kenaikan besaran PPN dari yang semula 11 persen menjadi 12 persen, dinilai sangat tinggi dan memberatkan masyarakat
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Ismoyo
TRIBUNNEWS, JAKARTA - Sejumlah jenis barang-barang kebutuhan sekunder diprediksi penjualannya bakal merosot, apabila Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen jadi diterapkan per Januari 2025.
Pengamat Ekonomi yang juga sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, barang-barang yang dimaksud seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, hingga produk kosmetik.
Bhima mengungkapkan, kenaikan besaran PPN dari yang semula 11 persen, dinilai sangat tinggi dan memberatkan masyarakat.
"Kelas menengah sudah dihantam kenaikan harga pangan terutama beras, suku bunga tinggi, sulitnya cari pekerjaan, kedepan masih ditambah penyesuaian tarif 12 persen," ungkap Bhima kepada Tribunnews, Rabu (20/11/2024).
Baca juga: Berikut Dampak Kenaikan PPN 12 Persen ke Kantong Masyarakat
"Khawatir belanja masyarakat bisa turun, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik/skincare bisa melambat," sambungnya.
Bhima melanjutkan, penerapan PPN 12 persen dinilai kurang tepat, mengingat saat ini terjadi penurunan jumlah masyarakat kelas menengah.
Padahal, kelas menengah merupakan kontributor utama dalam mendukung kinerja konsumsi di Indonesia.
"Sasaran PPN ini kelas menengah dan diperkirakan 35 persen konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari konsumsi kelas menengah," papar Bhima.
Ia melanjutkan, imbas lain tentu dirasakan oleh pelaku usaha sendiri karena penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN berimbas ke omzet.
Pada akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun. Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor.
Oleh karenanya, Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif ppn 12 persen karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga.
"Jelas kenaikan tarif PPN bukan solusi naikan pendapatan negara. Jika konsumsi melambat maka pendapatan negara dari berbagai pajak termasuk PPN justru terpengaruh. Sebaiknya rencana penyesuaian tarif PPN dibatalkan," papar Bhima.
"Kalau mau dorong rasio pajak perluas dong objek pajaknya bukan utak atik tarif. Menaikan tarif pajak itu sama dengan beburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif. Pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12 persen," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
Saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi Covid-19.
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani.