Peraturan Tata Kelola BBL Dinilai Berdampak ke Nelayan, Apa Saja?
Para pembudidaya diharuskan melepasliarkan sebagian kecil hasil panen ke alam, sehingga populasi lobster terjaga.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Transfer teknologi budidaya lobster modern diakuinya memang penting. Kebanyakan metode budidaya yang dijalankan masyarakat lokal masih konvensional dengan tingkat kematian BBL tinggi. Di samping itu, modal usaha budidaya lobster juga besar.
Untuk itu Padmoko mendukung pemberiaan insentif bagi para pembudidaya. Selanjutnya para pembudidaya diharuskan melepasliarkan sebagian kecil hasil panen ke alam, sehingga populasi lobster terjaga.
Dari jumlah BBL yang ditangkap untuk budidaya, 0,01 persen dikembalikan lagi ke alam sesuai dengan persentasi survival rate BBL di alam. Jadi setiap penangkapan BBL 10.000 ekor wajib melepasliarkan satu ekor lobster siap bertelur.
Sebelumnya, tim peneliti Fikom Unpad yang dipimpin Kunto Adi Wibowo melakukan penelitian di tiga sentra penangkapan BBL yaitu Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Kemudian, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan melibatkan 400 responden. Penelitian dilakukan melalui wawancara tatap muka dalam rentang waktu antara 8-19 Oktober 2024 dan tingkat kesalahan atau margin of error sebesar 4,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasilnya sebanyak 87,6 persen responden menyatakan dukungan atas kebijakan pengelolaan BBL.
Hasil penelitian menunjukkan ada tiga hal utama yang membuat para nelayan lobster mendukung kebijakan itu, yaitu adanya peningkatan pendapatan, ketersediaan lobster di alam dan kemudahan untuk mendapatkan benih.