Indonesia Bisa Kena Dampak Telak Jika Trump Kenakan Pajak 100 Persen ke Aliansi BRICS
Ancaman Trump bisa membuat produk Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar AS.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM - Perekonomian Indonesia bisa terkena dampak buruk jika Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, jadi merealisasikan ancamannya mengenakan tarif 100 persen ke negara-negara anggota BRICS.
BRICS merupakan aliansi ekonomi baru yang dibangun oleh negara-negara Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa atau Afrika Selatan.
Aliansi BRICS dibangun untuk mengurangi dominasi negara maju dengan beralih dari mata uang dollar AS.
Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 100 persen pada anggota BRICS jika negara-negara anggota BRICS menciptakan mata uang baru untuk menyaingi dollar AS.
Diberitakan British Council, Indonesia bersama Malaysia, Vietnam, dan Thailand telah menjadi negara mitra BRICS pada pertemuan aliansi tersebut pada 22-24 Oktober silam.
Seperti apa dampak buruk ancaman Donald Trump ini jika jadi dia realisasikan terhadap negara-negara BRICS?
Dampaknya akan terasa pada sektor perekonomian Indonesia terutama barang-barang berorientasi ekspor ke AS.
Tarif yang disebutkan Trump merupakan pajak domestik yang dikenakan pada barang-barang saat memasuki AS atau sebanding dengan nilai impor.
Tarif membuat nilai barang impor menjadi lebih tinggi jika masuk AS. Menurut Trump, penerapan tarif akan menumbuhkan ekonomi AS, melindungi pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan pajak.
Tarif ini diyakini tidak membebani AS tapi menjadi beban negara lain. Biaya tersebut dibayarkan secara fisik ke pemerintah AS oleh perusahaan dalam negeri yang mengimpor barang dan bukan perusahaan asing yang mengekspornya.
Lewat unggahannya di media sosial Truth Social, Sabtu (30/12/2024) waktu setempat atau Minggu (1/12/2024) Trump menyatakan dia akan menindak negara-negara yang mendukung BRICS menggantikan dollar AS.
Baca juga: Menlu Sugiono Ungkap Alasan Indonesia Gabung BRICS: Kita Butuh Kesejahteraan
"Kami menuntut komitmen dari negara-negara tersebut bahwa mereka tidak akan menciptakan mata uang Brics baru atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan dollar AS. Atau mereka akan menghadapi tarif 100 persen dan harus mengucapkan selamat tinggal pada penjualan ke ekonomi AS yang luar biasa," kata Trump.
Trump menekankan, negara-negara BRICS tidak memiliki peluang menggantikan dollar AS dalam perdagangan internasional.
Pernyataan terbaru Trump itu muncul sebagai respons atas hasil pertemuan puncak BRICS yang diadakan di Kazan, Rusia, Oktober 2024.
Baca juga: Di RI-Brazil Business Forum, Prabowo Ungkap Keinginan Gabung BRICS
Dalam pertemuan itu antara lain dibahas peningkatan transaksi nondollar dan penguatan mata uang lokal.
Aliansi BRICS telah berkembang secara signifikan sejak didirikan pada tahun 2009.
Semula anggotanya hanya Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kini, negara anggotanya meluas dengan bergabungnya Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab.
Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva pada tahun 2023 pernah mengusulkan pembentukan mata uang bersama di Amerika Selatan untuk mengurangi ketergantungan pada dollar AS.
Tarif untuk Meksiko dan Kanada Peringatan Trump muncul kurang dari seminggu setelah Trump mengumumkan akan mengenakan tarif 25 persen terhadap barang dari Meksiko dan Kanada dan tarif tambahan 10 persen pada China setelah dilantik menjadi presiden AS.
Kebijakan tersebut dikeluarkan dengan dalih sebagai balasan terhadap adanya imigrasi ilegal, kejahatan, serta perdagangan narkoba yang masuk perbatasan negara tersebut.
Atas hal tersebut, sekutu Trump menduga ancaman itu hanyalah taktik negosiasi sebagai tawaran kepada negara-negara BRICS daripada sebuah janji.
Calon Menteri Keuangan AS, Scott Bessent menyebut ancaman Trump untuk mengenakan kenaikan tarif besar sebagai bagian dari strategi negosiasinya.
"Pandangan umum saya adalah bahwa pada akhirnya, ia adalah seorang penganut paham perdagangan bebas," kata Bessent, dilansir dari BBC, Senin (2/12/2024).
Seberapa jauh dampak ancaman Trump bagi Indonesia?
Ancaman Trump untuk menjatuhkan tarif 100 persen bagi negara-negara anggota BRICS terkait isu dedolarisasi tersebut perlu dicermati Indonesia. Hal ini terkait keinginan Indonesia bergabung dengan perkumpulan itu.
Baca juga: Video Momen Sigap Menlu Sugiono Bantu Prabowo Jawab soal Rencana RI Ingin Gabung BRICS dan OECD
Dikutip dari Kompas.id, Menteri Luar Negeri RI Sugiono sebelumnya menyatakan, Indonesia tertarik untuk bergabung dengan BRICS saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi BRICS di Kazan, Rusia, Oktober 2024.
Menlu Sugiono menegaskan bahwa sikap Indonesia yang menyatakan ketertarikan (expression of interest) untuk bergabung dengan BRICS merupakan bagian dari pengejawantahan politik bebas aktif, yakni aktif pada semua blok, forum, dan berbagai agenda dunia.
Dalam pidatonya di Kazan, Sugiono menyampaikan bahwa minat bergabung Indonesia dengan BRICS karena keinginan untuk mendorong kemajuan dan kepentingan dari negara-negara berkembang di kawasan selatan (global south).
Presiden Prabowo Subianto juga kembali menyatakan keinginan Indonesia bergabung dengan BRICS secara resmi pada ajang Indonesia-Brazil Business Forum yang dilaksanakan di Copacabana Palace, Rio de Janeiro, Brasil, Minggu (17/11/2024).
Dengan adanya ancaman penerapan tarif 100 persen bagi negara BRICS dan perbatasan AS akan menaikkan biaya barang-barang dari negara tersebut.
Sementara Indonesia memiliki hubungan perdagangan ekspor yang menguntungkan dengan AS.
Contohnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut, Indonesia punya komoditas ekspor utama berupa sawit, otomotif, dan produk hasil hutan.
Ada juga komoditas potensial seperti tanaman obat, minyak atsiri, makanan olahan, kerajinan, perhiasan, dan rempah-rempah.
Ancaman Trump mengenakan tarif 100 persen pada negara-negara anggota BRICS dapat menyebabkan biaya lebih tinggi bagi eksportir.
Ancaman Trump bisa membuat produk Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar AS. Akibatnya, permintaan ekspor dari Indonesia ke AS akan melemah.
Hal ini dapat mengurangi kemampuan Indonesia mempertahankan pertumbuhan ekspornya.
Negara yang sangat bergantung pada ekspor ke AS akan sangat mengalami penurunan permintaan barang sehingga berisiko memengaruhi pertumbuhan ekonomi mereka.
Di sisi lain, kondisi ini juga akan memicu inflasi ekonomi dan mengganggu stabilitas arus perdagangan global.
Diberitakan The Economic Times, Minggu, kebijakan Trump berpotensi menimbulkan perang dagang antara AS dan negara-negara ekonomi besar seperti China, Meksiko, dan Uni Eropa.
Perang dagang di antara negara-negara besar tersebut dapat mengganggu stabilitas pasar di seluruh dunia dan perdagangan global.
Sumber: Kontan