PPN 12 Persen, Pengusaha Khawatir Orang yang Menginap di Hotel Makin Sedikit
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk sektor pariwisata
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk sektor pariwisata, khususnya hotel dan restoran, memunculkan kekhawatiran di kalangan pengusaha.
Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono memandang kenaikan PPN ini akan berdampak pada jumlah pengunjung yang menginap di hotel.
Menurut pria yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta itu, sektor pariwisata di Jakarta, khususnya hotel, masih berusaha pulih pasca-pandemi.
Baca juga: Tidak Ada Lompatan Besar, Apindo Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI Tahun Depan di Angka 5,2 Persen
Namun, tantangan semakin berat dengan adanya kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sektoral Jakarta yang katanya mencapai 9 persen.
"Hotel-hotel di Jakarta ini kan belum pulih kan, belum pulih sampai sekarang ini, sekarang dikenakan kenaikan upah sektoral sebesar 9 persen," katanya kepada wartawan di Jakarta, dikutip Jumat (20/12/2024).
Selain UMP sektoral, kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah beban yang harus ditanggung oleh pelaku usaha, di mana semua biaya tambahan ini kemungkinan besar akan dibebankan pada harga jual.
Beban yang diberikan kepada harga jual pada akhirnya dapat membuat permintaan turun.
"Kalau kemudian PPN naik itu kan pasti dibebankan kepada harga. Kalau harga naik, permintaan akan turun," ujar Sutrisno.
Dampaknya, ia mengungkap akan semakin sedikit orang yang menginap atau mengunjungi objek-objek wisata.
Padahal, menurut Sutrisno, sektor pariwisata seperti hotel sangat bergantung pada permintaan.
Baca juga: Perwakilan Masyarakat Datangi Setneg Serahkan Petisi Tolak Kenaikan PPN 12 Persen
"Semakin tidak ada orang yang kemudian menghinap atau mengunjungi objek-objek pariwisata. Itu implikasi dari PPN itu. Belum lagi nanti kerumitan dari sisi administrasinya," ucap Sutrisno.
"Yang dibutuhkan oleh sektor pariwisata, khususnya hotel dan restoran, itu adalah pembeli, demand, yang dibutuhkan adalah daya beli gitu loh," lanjutnya.
Tidak hanya soal PPN dan UMP sektoral, penghematan perjalanan dinas pemerintah yang diperkirakan turun hingga 50 persen juga menjadi faktor yang mempengaruhi kondisi industri pariwisata.
"Penghematan belanja pemerintah yang turun perhitungan kita menjadi 50 persen, itu semua memukul industri pariwisata, khususnya hotel," pungkas Sutrisno.
Pengusaha Hotel Masuk Survival Mode
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan industri hotel dan restoran menghadapi penurunan daya beli masyarakat dan penghematan anggaran belanja perjalanan dinas oleh kementerian/lembaga.
Lalu, pada awal 2025 mereka akan kembali menghadapi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Hariyadi menjelaskan bahwa daya beli menjadi masyarakat yang menurun memberi efek cukup besar kepada keberlangsungan usaha hotel dan restoran.
Menurut analisa dia, daya beli masyarakat utamanya menurun karena judi online.
"Judi online itu impact-nya memang sangat signifikan. Jadi berpengaruh secara luas gitu. Mata rantai yang ini kan yang terkenal lebih masyarakat menengah bawah tuh judi online ini," katanya kepada wartawan di Jakarta, dikutip Rabu (20/11/2024).
Ia pun berharap pemerintah betul-betul serius untuk memberantas judi online.
Menurut Hariyadi, hingga saat ini, upaya pemerintah terhadap penindakan judi online belum maksimal.
Ia mencontohkan ketika menonton tayangan debat calon gubernur, masih ada iklan judi online di kolom chat tayangan tersebut.
Untuk penghematan anggaran belanja perjalanan dinas Kementerian/Lembaga, Hariyadi menyebut dampaknya akan lebih terasa ke pengusaha hotel.
Ia mengatakan, dalam bisnis hotel ada mata rantai yang luas, di mana di dalam situ melibatkan banyak pihak selain pengusaha hotel itu sendiri.
Contohnya mulai dari vendor penyedia pangan seperti telur, daging ayam, daging sapi, sayur, dan lain-lain. Lalu, ada juga vendor penyedia fasilitas amenities seperti sabun.
Para vendor yang masuk dalam mata rantai bisnis hotel disebut akan terkena dampak penghematan anggaran.
Penghematan anggaran seperti ini pernah terjadi pada awal 2015. Saat itu merupakan bulan-bulan pertama kepemimpinan Presiden Ketujuh RI Joko Widodo.
Tiga bulan pertama saat kebijakan tersebut diberlakukan, yaitu dari Januari hingga Maret, Hariyadi menyebut hotel langsung sepi.
"Hotel langsung sepi, lalu juga di daerah yang terkait dengan restoran, oleh-oleh itu langsung ngedrop. Nah sampai akhirnya pemerintah waktu itu mengevaluasi bahwa kebijakan itu tidak tepat, akhirnya dikembalikan lagi gitu," ucap Hariyadi.
Menurut Hariyadi, pemerintah seharusnya melihat anggaran perjalanan dinas bukan sebagai pengeluaran biasa.
Ia memandang anggaran perjalanan dinas ini sebenarnya juga berfungsi sebagai stimulus untuk daerah.
Sebab, pemerintah daerah turut memungut pajak dari hotel dan restoran. Belum lagi soal keterlibatan UMKM di mata rantai bisnis ini.
Berikutnya adalah PPN menjadi 12 persen. Ia memandang kenaikan ini, walaupun hanya 1 persen, akan menjadi suatu hal yang sensitif juga bagi masyarakat.
Hal itu kelak akan berimbas pada kelangsungan bisnis hotel dan restoran. Para pengusaha pun disebut sudah memberikan peringatan kepada pemerintah terkait dengan hal ini.
"Semua sektor rasanya sudah memberikan warning bahwa itu akan berdampak pada penurunan penjualan," ujar Hariyadi.
Hariyadi pun memandang rentetan tantangan yang dihadapi ini sebagai triple hit.
"Daya beli turun, ditambah PPN, ditambah lagi pemotongan anggaran, jadi kita kena triple hit. Tiga tekanan," tutur Hariyadi.
Akibat triple hit ini, mau tidak mau, Hariyadi menyebut pengusaha harus memasuki mode bertahan alias survival mode.
Pengusaha harus bisa mengendalikan biaya. Artinya, akan banyak penghematan yang dilakukan untuk ke depannya.
"Mengendalikan biaya itu macam-macam. Mungkin akan kejadian bahwa akan kita men-shutdown dulu untuk daily worker, misalnya kayak gitu," jelas Hariyadi.
"Memang daily worker kan tergantung dari omzet ya. Kalau penjualannya bagus ya mereka kerja, kalau enggak ya terpaksa harus di-shutdown," pungkasnya.
Pemangkasan Perjalanan Dinas
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Surat Edaran (SE) perihal penghematan anggaran belanja perjalanan dinas Kementerian/Lembaga Tahun 2024 Nomor S-1023/MK.02/2024 tertanggal 7 November 2024.
SE tersebut ditujukan kepada para Menteri Kabinet Merah Putih, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala Lembaga Pemerintah dan non Kementerian dan Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara.
"Menindaklanjuti arahan Bapak Presiden RI dalam Sidang Kabinet tanggal 23 Oktober 2024 dan tanggal 6 November 2024 agar Kementerian/Lembaga melakukan efisiensi Belanja Perjalanan Dinas TA 2024," tulis SE tersebut dikutip Senin (11/11/2024).
SE tersebut setidaknya memiliki tujuh point yakni pertama, Menteri Pimpinan Lembaga diminta untuk meneliti kembali berbagai kegiatan yeng memerlukan belanja perjalanan dinas pada DIPA TA 2024 yang dapat dihemat dengan tetap menjaga efektifitas pencapaian target sesaran program pade masing-masing Kementerian/Lembaga.
Kedua, terhadap belanja perjalanan dinas tersebut sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan penghematan minimal 50 persen dari sisa pagu Belanja Perjalanan Dinas pada DIPA TA 2024 terhitung sejak surat ini ditetapkan.
Ketiga, dalam hal terdapat kebutuhan, anggaran belanja perjalanan dinas yang harus dipenuhi setelah penghematan tersebut, Menter/Pimpinan Lembaga dapat mengajukan dispensasi penggunaan sisa dana dimaksud kepada Menteri Keuangan.
Keempat, kebijakan penghematan belanja perjalanan dinas, dikecualikan untuk belanja perjalanan dinas begi unit yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsi utamanya memerlukan perjalanan dinas, dan belanja perjalanan dinas tetap antara lain untuk biaya perjalanan dinas bagi penyuluh dinas pertanian, juru penerang, dan penyuluh agama serta biaya perjalanan dinas pada kedutaan besar/atase.
Kelima, kementerian/Lembaga melakukan pembatasan belanja perjalanan dinas secara mandiri melalui mekanisme revisi dan mencantumkan dalam catatan halaman IV.A DIPA sebagai penghematan dan mengoordinasikan pelaksanaan penghematan sebagaimana tersebut pada angka 1 pada instansi vertikal/satuan kerja di lingkup Kementerian Lembaga masing-masing.
Keenam, revisi pencantuman dalam catatan halaman VA DIPA dilaksanakan di Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
Ketujuh, untuk memastikan implementasi pembatasan secara mandiri oleh Kementerian/Lembaga maka Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja tidak dapat mengajukan permintaan pembayaran biaya perjalanan dinas sebelum melakukan revisi sebagaimana dimaksud pada angka 6.