Upaya Tembak Mati Penjahat Pelanggaran Terhadap Hak Tersangka
Penggunaan senjata api, merupakan upaya terakhir yang bertujuan menghentikan pelaku kejahatan, bukan mematikan.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, meminta aparat kepolisian tidak menempatkan upaya tembak mati sebagai prioritas terhadap pelaku kejahatan.
Penggunaan senjata api, kata dia, merupakan upaya terakhir yang bertujuan menghentikan pelaku kejahatan, bukan mematikan.
Menurut dia, aparat harus mematuhi peraturan penggunaan kekuatan serta berhati-hati menindak tersangka atau pelaku kejahatan di lapangan agar tidak terjadi penggunaan senjata api yang berlebihan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Baca: Anggota DPR Ajak Masyarakat Patuhi Aturan dan Desak Pemerintah Penuhi Kebutuhan Masyarakat
“Kami mengingatkan aparat tidak mengesampingkan peraturan penggunaan kekuatan oleh kepolisian khususnya dalam menangani kejahatan jalanan termasuk yang diduga dilakukan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP,-red) asimiliasi/integrasi,” kata Erasmus, Jumat (24/4/2020).
Dia menjelaskan, tembak mati pelaku kejahatan merupakan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan yang pada prinsipnya pelanggaran serius terhadap hak-hak tersangka atau orang-orang diduga melakukan tindak pidana yang dijamin peraturan perundang-undangan.
Setiap pelaku kejahatan atau tersangka, kata dia, termasuk yang statusnya residivis pun memiliki hak untuk dapat diadili secara adil dan berimbang serta menyampaikan pembelaan atas perbuatan yang dituduhkan terhadapnya.
Baca: Ahok dan Puput Nastiti Devi Kompak Ucapkan Selamat Berpuasa: Semoga Membawa Keberkahan
“Namun hak-hak tersebut menjadi tidak dapat berikan jika sebelum diajukan ke persidangan mereka telah meninggal dunia karena ditembak mati, sehingga perkaranya pun menjadi gugur,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, penggunaan senjata api merupakan upaya paling akhir atau last resort yang hanya dapat diterapkan untuk keadaan-keadaan tertentu yang tujuannya pun juga bukan untuk menghilangkan nyawa si pelaku kejahatan.
Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (Perkap 1/2009) telah menjabarkan situasi-situasi di mana aparat kepolisian diperbolehkan untuk menggunakan senjata api.
Sehingga menurut ICJR, dalam konteks menghadapi WBP asimilasi/integrasi yang diduga kembali melakukan tindak pidana, aparat kepolisian perlu memahami bahwa menindak tegas bukan berarti menembak mati.
Baca: Koalisi Tolak Kriminalisasi Tunggu Sikap Tegas Jokowi Hentikan Tindakan Represif Warga yang Kritis
“Aparat harus dapat memegang teguh prinsip penggunaan senjata api yang merupakan upaya terakhir atau last resort yang tujuannya adalah untuk menghentikan pelaku yang sedang berbuat kejahatan, bukan untuk mematikan,” kata dia.
Seharusnya, dia melanjutkan, DPR mempunyai fungsi pengawasan terhadap kerja-kerja pemerintah. Bukan mendukung dilakukan tembak mati.
DPR seharusnya mendorong aparat mematuhi peraturan penggunaan kekuatan oleh kepolisian dan mengingatkan batasan-batasan pelaksanannnya.
Selain itu, ICJR meminta agar lembaga seperti Komnas HAM dan Ombudsman segera menghidupkan tanda berhati-hati kepada jajaran kepolisian dalam hal ada potensi pelanggaran prosedur dan pelanggaran HAM.
Atas dasar itu, dia menekankan agar prosedur penanganan WBP yang melanggar ketentuan asimilasi/integrasi dalam hal ini dapat diterapkan sebagaimana mestinya oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan maupun aparat kepolisian.
Baca: Bamsoet : Peran Masyarakat Kunci Pemulihan Kehidupan dan Ekonomi Akibat Dampak Wabah Covid-19
“Penyidik kepolisian dapat memulai proses penyidikan terhadap WBP yang _diduga_ melakukan kejahatan dan Pembimbing Kemasyarakatan dapat mengembalikan WBP yang bersangkutan ke dalam lembaga pemasyarakatan,” tambahnya.