Kebijakan Pembebasan Narapidana Melalui Asimilasi Pilihan Rasional
Kebijakan itu dikeluarkan untuk mengurangi kemungkinan penyebaran covid-19 meluas di Lapas
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta menilai kebijakan pembebasan narapidana melalui program asimilasi, merupakan pilihan rasional di tengah pandemi virus Covid-19.
"Kebijakan itu dikeluarkan untuk mengurangi kemungkinan penyebaran Covid-19 meluas di Lapas. Sebab, jika satu orang kena sangat beresiko terhadap lainnya," ujar Wayan kepada wartawan, Jakarta, Jumat (1/5/2020).
Baca: Alih-alih Menyelamatkan Bangsa dari Corona, Mencetak Uang Rp 600 T Justru Mengakibatkan Inflasi
Menurutnya, jika kebijakan yang dikeluarkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mendapat gugatan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maka hal tersebut harus dihargai dan itu adalah hak setiap warga negara.
"Kita hargai gugatannya, biar pengadilan yang memutuskan nanti," tutur Wayan.
Ia menjelaskan, kebijakan asimilasi tidak hanya diterapkan di Indonesia saja, tetapi juga negara lainnya di masa pandemi covid-19. Sehingga, kebijakan dilakukan Menkumham tidak ada yang salah dan aneh.
Baca: Kadin: Jumlah Pengangguran Akibat Pandemi Virus Corona Capai 40 Juta Orang
"Apalagi jumlah narapidana di lapas overload, banyak dan mereka berdesak-desakan, sangat beresiko. Jadi, kebijakan tersebut sangat masuk logika, kebijakan ini juga dilakukan dunia internasional," papar Wayan.
Sementara jika ada mantan napi yang berulang kembali setelah dibebaskan melalui asimilasi, Wayan berharap aparat kepolisian harus menangkap dan menindaknya secara tegas.
Baca: India Bilang Alat Rapid Test dari China Rusak, Beijing: Itu Barang Berkualitas
"Tapi jangan disamaratakan dan seolah-olah semua yang diberikan asimilasi melakukan kejahatan," ucap politikus PDIP itu.
Diketahui, kebijakan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 guna menanggulangi penyeberan wabah covid-19 di rutan/lapas/LPKA, dinilai meresahkan masyarakat, khususnya di daerah Surakarta, Jawa Tengah.
Gugatan perdata didaftarkan pada Kamis, 23 April 2020 oleh Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997; Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen; dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia.
"Kami mewakili kepentingan masyarakat yang justru harus ronda di kampung-kampung wilayah Surakarta bahkan keluar biaya untuk membuat portal di jalan masuk gang," kata Ketua Umum Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997 Boyamin Saiman kepada Tribunnews.com, Minggu (26/4/2020).