Bahaya Stunting dan Solusi New Normal di Masa Pandemi
UNICEF yang menekankan bahwa kelompok rentan masih perlu mendapatkan perhatian lebih.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyebaran masif wabah Covjd-19 di tanah air memberikan dampak signifikan di segala lini kehidupan.
Segala bentuk pembatasan aktivitas semakin menguatkan fakta krisis ini tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, namun juga menyebabkan resesi.
Apalagi badan pangan dunia (FAO) turut mengafirmasi kondisi tersebut dengan menurunkan rilisnya pada 21 April 2020 tentang resiko krisis pangan termasuk bahaya stunting di Indonesia.
Hal ini karena keran impor terbatas akibat negara-negara produsen fokus memenuhi kebutuhan domestik, sementara sembako dalam negeri belum bisa berswasembada.
Pemerintah pun harus bekerja ekstra keras karena situasi saat ini tetap tidak dapat mengesampingkan darurat stunting sebagai salah satu isu yang telah menjadi prioritas nasional dengan penanganan yang tetap harus berjalan, bahkan di tengah masa pandemi.
Baca: 5 Amalan Sunah 10 Hari Terakhir Bulan Ramadhan, Berikut Bacaan Doa di Malam Lailatul Qadar
Baca: Fakta Naiknya Iuran BPJS Kesehatan, Jokowi Buat Keputusan Saat Wabah Hingga Dinilai Kehilangan Nalar
Baca: Arab Saudi Akan Lockdown Penuh selama Idul Fitri, Pelanggar Karantina Didenda Hampir Rp 800 Juta
Baca: Sejumlah Karyawan Pusat Grosir Sleman Positif Covid-19, Pengunjung Antre Lakukan Rapid Test
Demi mencegah dan menurunkan bahaya Stunting di tengah pandemi Covid19, Tanoto Foundation melalui program Early Childhood Education and Development (ECED) yang berorientasi pada pengasuhan anak usia dini untuk generasi siap sekolah, bekerja sama dengan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) menyelenggarakan kegiatan Webinar dengan topik pembahasan, “Stunting dalam Situasi Pandemi" pada Selasa (12/5/2020).
Agenda ini dibuka Eddy Henry, Head of ECED Tanoto Foundation dengan turut mengundang narasumber yang terdiri dari dr. Entos Zainal, MPHM (Ketua Umum PERSAGI), dr. Anung Sugihantono, M.Kes (Ketua Tim Ahli Gugus Tugas COVID19 Jawa Tengah), Iing Mursalim, MSi (TNP2K Setwapres), Sri Sukotjo, MA (UNICEF), dan Dr. Brian Prahastuti (Kantor Staf Kepresidenan).
Dalam paparannya, Eddy melihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang terus merosot akan membuat kemiskinan terus bertambah.
“Kemiskinan dan stunting saling menguatkan sehingga diperlukan intervensi di masa sekarang,” ungkapnya.
Menurut Eddy kita bisa melakukan dua hal.
Pertama, upaya nutrition specific berupa meningkatkan kesadaran kesehatan dan gizi bagi remaja, pasangan muda, wanita hamil, menyusui melalui sosial media dan media elektornik, kemudian terus mempromosikan ASI eksklusif dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT).
Dan juga mendukung ketersediaan makanan bernutrisi bagi wanita hamil, menyusui dan anak usia dini melalui program bantuan sosial, dan menyediakan layanan darurat bagi ibu dan anak di puskesmas.
Kedua adalah nutrition sensitive, yakni menyediakan bantuan konseling psikososial bagi orang tua, kemudian memastikan ketersediaan sabun untuk mengoptimalkan program WASH, menyediakan alat permainan edukatif untuk membantu orang tua memberikan simulasi, menyediakan konten-konten bermanfaat untuk orang tua dan anak di media, dan memberdayakan pekerja garis depan seperti kader posyandu dan pendamping sosial PKH.”
Pendapat Eddy Henry diamini oleh IIng Mursalin selaku Lead Program Manager for Stunting dari Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) yang menegaskan bahwa program penanggulangan stunting harus tetap berjalan dengan berbagai penyesuaian.
“Masa darurat pandemi bisa selesai dalam beberapa bulan, tetapi penanganan pasca pandemi ini bisa berlangsung lama dan terkait langsung dengan pemulihan ekonomi. Semakin lama penanganan, akan semakin besar dampak negatif bagi status gizi anak dan ibu hamil,” ujarnya.
Sementara PERSAGI yang diwakili oleh dr. Entos Zainal, MPHM, menekankan pentingnya intervensi bersifat lintas sektor yang menelurkan kontribusi lintas kementrian/lembaga.
"Inilah masanya antar kementerian menelurkan kontibusinya dalam menurunkan stunting yakni Kemenkes sebagai aktor utama intervensi gizi spesifik," ujarnya.
"Sementara kementerian selain Kemenkes dapat mengoptimalkan intervensi gizi sensitif, contohnya Kemendikbud dengan PAUD, parenting dan UKS, KemPU&PR dalam hal air bersih dan sanitasi, Kemperin melalui fortifikasi produk pangan, Kemtan dengan ketahanan pangan, Kemenag lewat bimbingan perkawinan dan tokoh agama, dan lainnya,” kata dr Entos Zainal.
Sri Sukotjo selaku Nutrition Specialist dari UNICEF yang menekankan bahwa kelompok rentan masih perlu mendapatkan perhatian lebih.
“Pemilihan pangan untuk bantuan sosial perlu dibuat lebih ramah gizi. Dana Desa juga perlu dioptimalkan untuk mencegah terjadinya penurunan status gizi ibu dan anak,” paparnya.
Dari pihak pembahas, dr. Anung Sugihantono, M.Kes menjelaskan hadirnya situasi new normal pasca kondisi fasilitas kesehatan-tenaga kesehatan, energi masyarakat, hingga sumber daya kesehatan yang tersedot akibat COVID19 ini dengan rencana tindak lanjut yang jelas.
“Soal reformulasi intervensi dengan digitalisasi sebagai platform. Kemudian transformasi pelayanan kesehatan berbasis literasi kesehatan masyarakat, basis pangan lokal lebih mengutamakan unsur protein seperti ayam telur, ikan, peran serta masyarakat lebih kepada kepedulian seperti di Jawa Tengah dengan konsep Jogo Tonggo," ujarnya.
"Terakhir rekalkulasi target, jujur dengan persoalan yang dihadapi saat ini agar tak ada yang frustasi atau saling menyalahkan," kata dr. Anung.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Dr. Brian Sri Prihastutit juga memastikan KSP akan terus mengawal berbagai program gizi nasional di tengah wabah virus corona.
“Indonesia merupakan salah satu negara dengan triple burden malnutrition, yaitu kurang nutrisi, kelebihan nutrisi dan defisiensi mikronutrien," paparnya.
Pihaknya telah mencantumkan fokus penanggulangan stunting ke dalam RPJMN 2020-2024 dan hingga saat ini masih menjadi major project untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia dan derajat kesehatan masyarakat, bahkan di tengah pandemi.