Dua Calon Vaksin Corona Mulai Uji Klinis, Hasilnya Diumumkan pada Juli 2020
Hasil awal uji coba itu rencananya akan diumumkan pada Juli 2020. Uji klinis merupakan tahap vaksin atau obat mulai diberikan kepada manusia.
Penulis: Febby Mahendra
Editor: Sanusi
Setidaknya, mereka berisiko tertular virus corona jenis baru (SARS-CoV-2), penyebab Covid-19, saat menjalani kegiatan sehari-hari.
Uji coba tahap pertama telah dimulai sejak 23 April, melibatkan lebih dari 1.000 relawan berusia 18 tahun sampai 55 tahun.
Oxford University mengatakan uji coba tahap II dan III akan melibatkan warga berusia 56 tahun dan mereka yang lebih tua, serta anak-anak berusia 5-12 tahun.
"Kecepatan menguji coba vaksin hingga memasuki tahap akhir uji klinis merupakan terobosan penelitian dari Oxford," kata pimpinan eksekutif AstraZeneca, Mene Pangalos.
AstraZeneca merupakan perusahaan multinasional bidang farmasi dan bio- farmasi yang berkedudukan di Cambridge, Inggris, serta memiliki tiga pusat riset yaitu di Cambridge, Gaithersburg (Maryland, Amerika Serikat), dan Mölndal (Swedia).
Walaupun demikian, hasil uji coba vaksin kemungkinan baru dapat dipublikasikan pada dua sampai enam bulan.
AstraZeneca telah menjadikan Inggris dan AS sebagai mitra untuk memproduksi vaksin secara massal.
Perusahaan itu akan langsung mengirim vaksin ke dua negara itu apabila vaksin itu disebut layak pakai dan aman digunakan.
Sejumlah relawan dalam kondisi sehat akan dipilih secara acak untuk disuntik vaksin jenis ChAdOx1, juga dikenal sebagai AZD1222, vaksin yang biasanya dipakai untuk menangkal meningitis/radang selaput otak.
Para relawan tidak diberi tahu informasi terkait pengelompokkan uji vaksin agar tidak berpengaruh terhadap tingkah laku mereka.
Para peserta uji coba kemungkinan akan mengalami efek samping ringan seperti sakit lengan dan sakit kepala setelah disuntik vaksin.
"Jika penularan tetap tinggi, kami mungkin mendapatkan data yang cukup dalam beberapa bulan guna mengetahui apakah vaksin ini bekerja, tetapi jika tingkat penularan turun, ini dapat menghabiskan waktu sampai enam bulan," kata Oxford University lewat pernyataan tertulis. (cnn/rtr/feb)