Hasil Uji Klinis Awal Inggris Sebut Dexamethasone Dapat Obati Pasien Covid-19, Ini Kata WHO
Dari hasil uji klinis yang dilakukan para peneliti di Universitas Oxford, Inggris menyebutkan, dexamethasone dapat mengobati pasien Covid-19.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Sampai sekarang, satu-satunya obat yang terbukti membantu adalah remdesivir, obat percobaan dari Gilead Sciences yang memblokir enzim yang digunakan virus untuk menyalin materi genetiknya.
Baca: Kartika Putri Ajukan Syarat Ini Pada Suami Jika Ingin Ikuti Tren Hamil Ditengah Virus Corona
Baca: Pemerintah Dukung Pengembangan Obat Corona oleh Universitas Airlangga
Remdesivir mempersingkat waktu pemulihan bagi pasien rawat inap yang sakit parah rata-rata 31% menjadi 11 hari dibandingkan 15 hari bagi mereka yang baru saja diberikan perawatan biasa.
Dikutip dari USA Today, pakar penyakit menular top Amerika Serikat, Dr. Anthony Fauci mengungkapkan, dirinya masih belum tahu apakah Remdesivir dapat digabungkan dengan dexamethasone.
"Kami belum tahu apakah remdesivir dapat digunakan dengan dexamethasone atau sebelum atau sesudahnya untuk memberi lebih banyak manfaat," kata Fauci.
Sementara itu, pakar virus di Wellcome Trust, sebuah badan amal Inggris, Nick Cammack mengatkan jika dexamethasone dapat menyelamatkan nyawa yang tak terhitung jumlahnya.
"Ini adalah mimpi, karena obat ini telah digunakan selama beberapa dekade untuk kondisi lain," kata Cammack
"Sangat mudah untuk membuat. Jadi tidak ada alasan ini tidak dapat diluncurkan untuk di seluruh dunia," lanjutnya.
Baca: Pandemi Covid-19 Dekatkan Anak Kartika Putri dengan Sang Ayah
Baca: Virus Corona Batalkan Produksi Tiga FTV, Farahdiba Fereira Bingung Bayar Cicilan
Tidak ada informasi yang diberikan mengenai efek samping dexamethasone, tetapi para peneliti mengatakan mereka menggunakan dosis rendah dan untuk waktu yang singkat, yang umumnya aman.
Dr. Peter Bach, seorang ahli kebijakan kesehatan di Memorial Sloan-Kettering Cancer Center di New York, mencatat bahwa 41% dari mereka yang menggunakan mesin pernapasan dan 25% pada oksigen saja meninggal dalam penelitian ini.
"Tingkat kematian tampaknya jauh lebih tinggi daripada di AS," ujar Dr. Peter Bach.
"Kami akan berjuang untuk melihat data ini dan menggunakannya untuk pasien di AS," katanya.
"Ini adalah kabar baik bagi sains bahwa penelitian yang tepat telah dilakukan," lanjutnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)