Peneliti Temukan Bukti Virus Corona yang Menyebar di Italia Tidak Datang dari China
Hasil studi terbaru, strain virus corona paling awal beredar di Italia tidak datang langsung dari China.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Italia merupakan satu di antara negara yang mulai bisa mengendalikan penyebaran virus corona.
Padahal, bulan lalu, Italia menjadi negara kedua setelah AS, yang terdampak parah akibat Covid-19.
Kini, mereka mulai melakukan banyak penelitian terkait asal mula virus corona yang menyerang negaranya.
Hasil studi terbaru, strain virus corona paling awal beredar di Italia tidak datang langsung dari China.
Bila bukan dari China, lantas dari mana strain awal virus menyebar di negara spaghetti?
Para peneliti di Milan mengumpulkan lebih dari 300 sampel darah pasien Covid-19 dari wilayah Lombardy antara Februari dan April dan melacak asal-usul strain virus melalui perubahan gen mereka.
Baca: Geger Kemunculan Sekte Seks Pimpinan Kakek 77 Tahun di Italia, Diduga Lecehkan Puluhan Gadis Belia
Italia adalah negara pertama di dunia yang memberlakukan pembatasan perjalanan yang melarang semua penerbangan dari China.
"Tetapi malah ada rantai transmisi yang tidak secara langsung melibatkan China," kata para peneliti yang dipimpin oleh Profesor Carlo Federico Perno dari Universitas Milan, dikutip dari SCMP, Rabu (22/7/2020).
Lombardy telah menyumbang lebih dari sepertiga dari kasus virus corona di Italia.
Ini adalah wilayah terkaya Italia dengan bisnis yang berkembang, koneksi transportasi internasional, dan daerah perkotaan padat penduduk.
Ketika virus corona diumumkan pertama kali pada awal Januari, pada tanggal 20 Februari kasus pertama infeksi lokal dikonfirmasi oleh otoritas kesehatan Lombardy.
Baca: Kondisi Pariwisata Eropa Setelah Pandemi Covid-19, Italia Tawarkan Voucher Menginap
Tim Perno mengumpulkan sampel darah dari 371 pasien di 12 provinsi di seluruh wilayah.
Mereka dipilih secara acak dari orang yang dirawat di rumah sakit dengan gejala ringan, sedang atau berat.
Sekitar 7 persen dari sampel gagal menghasilkan pembacaan genom lengkap virus yang berkualitas tinggi.