Banyak yang Meragukan Hasil Swab, Benarkah Ada Negatif Palsu, Ini Jawaban Yurianto
Achmad Yurianto, Ditjen P2P Kemenkes) merespon keraguan masyarakat tentang swab test. Benarkah ada negatif palsu? Berikut pernjelasan Yuri.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Achmad Yurianto, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Ditjen P2P Kemenkes) merespon keraguan masyarakat tentang swab test.
Benarkah ada negatif palsu? Berikut pernjelasan Yuri--sapaan akrab Achmad Yuriantokepada Tribunnews.com.
Yurianto menjawab pertanyaan melalui perbincangan virtual bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dan Staf Direksi Cecep Burdansyah.
Saat disodori pertanyaan tentamg reaksi masyrakat yang terkadang meragukan hasil tes swab, Yuri mengatakan bahwa semua harus dipahami jika pemeriksaan yang direkomendasikan oleh global, oleh dunia adalah pemeriksaan anti kit.
Pemeriksaan anti kit hanya bisa kita lakukan dengan metode swab.
Oleh karena itu selalu dilakukan real time PCR.
"Hari ini saya di tes, berarti hari ini status saya. Katakan saya di swab hari ini, hasilnya tiga hari yang akan datang dan negatif.
Baca: Rumah Makan Kepala Manyung Bu Fat jadi Klaster Baru Covid-19 di Semarang, 25 Orang Jalani Tes Swab
Baca: Puskesmas dan RSUD di Tangsel Sediakan Rapid dan Swab Test Gratis Tapi dengan Syarat
Apakah tiga hari yang akan datang saya negatif? Tidak ya pada saat diambil itu saya negatif. Artinya bisa saja setelah saya diambil, besoknya jadi positif," jelasnya.
Yuri lantas menjelaskan jika ada faktor risiko dan pengambilan swab pun harus spesifik.
"Kalau ambil swab-nya salah, dan kalau ambil darah sih gampang lah. Kalau ini yang ambil salah, kemudian virusnya lepas, yang ambil bisa kena juga. Jadi banyak risiko, sehingga harus spesifik yang melakukan,"ucap Yuri lagi.
Lantas, apakah hasil swab tes sebetulnya tidak terlalu akurat?
Yurianto menjawab, hasil itu bisa dikatakan hasil tes akurat manakala prosedurnya benar.
"Akurat jika prosedurnya benar," ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa testing, tracing, itu bicara jilid II karena jilid I nya protokol kesehatan.
Apakah kita baru mematuhi protokol kesehatan, kalau kita positif, kan tidak.
Jadi ini yang harus kita luruskan bahwa masyarakat mengatakan di tempat saya tidak ada tes lah.
Sebenarnya rapid test itu perlu atau tidak?
"Jadi kalau rapid test digunakan untuk diagnostic pasti tidak bisa. Karena WHO pun tidak merekomendasikan, rapid test itu kan basisnya anti body. Bukan anti kit," jelasnya.
Rapid test itu berbasis pada anti body. Anti body itu baru terbentuk manakala seseorang terinfeksi, dan rata-rata immunoglobulin m itu baru bisa kita deteksi setelah 6-7 hari dari hari infeksinya.
"Sehingga kalau hasilnya negatif, kalau dia betul-betul tidak terinfeksi ya negatif.
Tapi kalau dalam periode 1-6 hari, jadi sebenarnya false negatif. Negatif palsu, karena respon anti body-nya belum, sebenarnya positif," ujarnya.
Rapid Test Tak Ada Izin Edar
Yuri juga mejelaskan jika rapid test di pasar kita, tidak ada satupun yang punya izin edar.
"Di dalam situasi bencana kalau kita lihat Undang-Undang Nomor 24 memang saran yang digunakan untuk merespon tidak perlu izin edar dulu, tapi izin untuk masuk," ujarnya lagi.
Yuri menyebut kewenangannya ada di BNPB. Ini mandat Undang-Undang ya. Artinya begitu banyak rapid test yang ada di pasaran, dicoba, kita cek kualitasnya.
Ada lebih dari 15 merek kalau tidak salah. Setelah kita cek untuk dua hal, satu sensitivitas terhadap deteksi immunoglobulin m.
Kemudian yang kedua spesifisitas kita lakukan.Kalau alat tes yang bagus, dari teman-teman Perhimpunan Dokter Patologi Klinik Indonesia mengatakan paling tidak di atas 85 persen.
Kini Jadi Perawat Data Covid-19
Yuri ini mengaku belum pulang semalam.
Di atas meja di Ruang Kerjanya di Kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (9/11/2020).berserakan kertas, data-data perkembangan Covid-19 di Indonesia.
Yuri menyebut dirinya sebagai, "Perawat datanya covid.
"Saya tidur di sini semalam," ujar Yurianto kepada Tribun Network
Nama lengkapnya
Yuri memaparkan apa saja yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani Covid-19.
Yuri dalam kesempatan bicara online ini juga menjelaskan tentang upaya paling signifikan yang sudah dilakukan untuk menangani pandemi Covid-19.
Berikut jawabannya.
Pertengahan Desember 2019 WHO sudah memperingatkan ke seluruh dunia, public health emergency.
Jadi ini darurat kesehatan masyarakat, saat itu seluruh dunia diminta memberikan perhatian terhadap Covid-19.
Public health emergency oleh international concern harus memberikan perhatian karena sangat berpotensi untuk menyebar dengan cepat bahkan bisa menjadi pandemi, dan peringatan itu terbukti.
Di Indonesia pun, kita waktu itu merespons dengan cara satu segera lakukan penguatan, pengawasan, di pintu masuk negara.
Saat itu langkah ini kita lakukan karena lotus awalnya tidak di Indonesia, dari China. Artinya tidak mungkin masuk sendiri tanpa melalui pintu masuk.
Di aspek kebijakan sudah dikatakan bahwa ini adalah kedaruratan kesehatan masyarakat.
Ini ditandai terbitnya peraturan menteri sampai peraturan presiden.
Begitu dinyatakan sebagai pandemi, maka sudah masuk di dalam kerangka UU nomor 24 tahun 2007 tentang wabah ini bencana.
Hanya kemudian pada aspek implementasi ini yang akhirnya kita gagal fokus menurut saya.
Ini kedaruratan kesehatan masyarakat, mohon maaf, bukan kedaruratan kesehatan rumah sakit.
Mestinya respon itu di hulu (masyarakat), rumah sakit itu di hilir, tetapi kita terbalik.Ini bukan saja yang terjadi di negara kita saja, di banyak negara pun juga sama.
Jadi, tidak mungkin virusnya jalan sendiri-sendiri, harus ikut tubuhnya manusia. Artinya mobilitas manusia untuk kepentingan kehidupan sosial termasuk kerja dan sebagainya, itu akan juga seiring dengan pergerakan faktor penularnya.
Ini masalah kesehatan. Saya sering katakan memang kesehatan bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada gunanya.
Jadi tidak ada lagi sebenarnya tawar-menawar apakah ini masalah kesehatan apakah ini masalah ekonomi, tidak ada.
Kita harus menempatkan masyarakat sebagai subyek, sekaligus obyek.
Kalau kita melihat mengapa pakai masker, sebagian akan menjawab karena tidak mau didenda, bukan pakai masker karena tidak kepingin ketularan.
(tribun network/denis destryawan)