Legislator PKS: RUU APBN 2021 Harus Fokus Atasi Covid-19 dan Dampaknya
banyak ahli epidemiologi yang menyatakan penanganan Covid-19 masih lambat hingga sekarang, dan diperkirakan puncak pandemi baru akan berlangsung di
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Anggaran DPR RI dari Fraksi PKS Sukamta memandang Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun 2021 seharusnya masih fokus kepada soal kesehatan dalam rangka mengatasi pandemi Covid-19 dan dampaknya secara sosial ekonomi.
Hal ini mengingat banyak ahli epidemiologi yang menyatakan penanganan Covid-19 masih lambat hingga sekarang, dan diperkirakan puncak pandemi baru akan berlangsung di tahun 2021.
Dengan prediksi tersebut, menurutnya sangat wajar jika RUU APBN 2021 perlu mengalokasikan belanja yang cukup di sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi utamanya untuk membantu pelaku usaha kecil dan UMKM.
"Di dalam RUU APBN 2021 alokasi anggaran Kesehatan sebesar Rp169,7 triliun atau 6,2 persen dari total Belanja Negara sebesar Rp2.750 triliun yang terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp130,7 triliun dan Transfer ke Daerah sebesar Rp39,1 triliun. Anggaran ini rasanya belum memadai dengan melihat risiko pandemi yang masih besar. Mestinya anggaran kesehatan ini ditingkatkan untuk mengatasi pandemi Covid-19," ujar Sukamta, kepada wartawan, Sabtu (26/9/2020).
"Pemerintah juga jangan hanya mengandalkan jurus pengadaan vaksin untuk atasi pandemi, banyak ahli katakan vaksin bukan satu-satunya cara. Artinya selain untuk atasi Covid-19 juga perlu anggaran kesehatan yang memadai untuk peningkatan dan perbaikan sistem dan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), peningkatan sarana prasana kesehatan, dan kapasitas tenaga kesehatan. Kan udah kelihatan betapa beratnya kondisi sektor kesehatan kita tangani pandemi," imbuhnya.
Baca: Defisit APBN Melonjak, Pembiayaan Anggaran dari Utang Melesat 131 Persen
Wakil Ketua Fraksi PKS tersebut berpendapat pemerintah harus memberikan alokasi yang memadai untuk atasi dampak pandemi secara sosial ekonomi.
Menurutnya itu sesuai dengan perkiraan angka pengangguran terbuka pada tahun 2021 mencapai 7,7 - 9,1 persen sementara tingkat kemiskinan meningkat antara 9,2-9,7 persen.
"Dampak pandemi bisa jadi akan mencapai puncaknya pada tahun 2021, kondisi ini akan terasa semakin berat bagi warga miskin dan juga pelaku usaha kecil. Maka harus ada skema anggaran yang memadai untuk jaring pengamanan sosial, akses pendidikan, dan pemulihan UMKM. Intinya perosalan kebutuhan dasar masyarakat harus jadi prioritas," jelasnya.
Oleh sebab itu, Sukamta berharap RUU APBN 2021 lebih ketat dan realistis. Ibarat kelola keuangan rumah tangga, apabila pemasukannya kecil mestinya harus memperketat pengeluaraan anggaran hanya untuk yang sangat prioritas.
Dia menjelaskan kalau pemasukan negara berkurang, belanja makin besar pasti akan ambil utang lebih banyak. Apalagi dalam RUU APBN 2021 ada rencana penambahan utang Rp1.177,35 triliun, sehingga akan semakin memberatkan ekonomi Indonesia mengingat sampai Juli 2020 utang Indonesia sudah mencapai Rp5.434,86 triliun.
"APBN 2020 dengan pembiayaan utang mencapai Rp1.173,7 triliun, ternyata serapan belanjanya masih tidak optimal, ini menunjukkan perencanaan anggaran yang buruk, jangan sampai hal ini terulang dalam RUU APBN 2021. Kita semua tentu berharap dengan RUU APBN 2021 ini, bisa secara efektif tangani Covid-19 dan menjadi pengungkit kebangkitan ekonomi nasional," tandasnya.