Kisah Najwa Shihab Setiap Minggu Undang Terawan, Begini Respon Sang Menteri
Najwa Shibab mengaku, pihaknya telah berulang kali mengirimkan undangan wawancara kepada Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Presenter sekaligus jurnalis Najwa Shibab mengaku, pihaknya telah berulang kali
mengirimkan undangan wawancara kepada Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto dalam acara
yang ia pandu "Mata Najwa".
"Hampir tiap minggu kami mengundang Pak Menkes, di setiap episode pandemi," ujar Najwa saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (29/9/2020).
Namun, jawaban dari pihak menteri kesehatan tidak sesuai harapan.
"Terkadang undangan itu direspon, terkadang juga tidak ada respon," ujarnya.
Baca: Terawan Trending di Twiiter Hingga Dialog Kursi Kosong, Najwa Shihab Ungkap Kisah di Baliknya
Baca: Mengintip Kekayaan Menkes Terawan yang Kerap Disorot Selama Pandemi, Setahun Naik Rp 12 M
Ia melanjutkan, pernah dijawab dan memberi alasan tidak bisa hadir namun saat diminta jadwal wawancara ulang, kembali pihaknya tak mendapat respons.
Najwa memaparkan, ada sejumlah alasan mengapa diperlukan kehadiran pejabat negara untuk menjelaskan kebijakan yang berimbas kepada publik.
"Mengundang dan atau meminta pejabat untuk menjelaskan kebijakan yang diambilnya adalah tindakan normal di alam demokrasi. Jika tindakan itu dianggap politis, penjelasannya tidak terlalu sulit," ujarnya.
Pertama, jika “politik” diterjemahkan sebagai adanya motif dalam tindakan, maka undangan untuk Menkes Terawan memang politis. Namun tak selalu yang politik terkait dengan partai atau distribusi kekuasaan. Politik juga berkait dengan bagaimana kekuasaan berdampak kepada publik.
"Kami tentu punya posisi berbeda dengan partai karena fungsi media salah satunya mengawal agar
proses politik berpihak kepada kepentingan publik," tutur Najwa.
Kedua, setiap pengambilan kebijakan diasumsikan adalah solusi atas problem kepublikan.
Siapa pun bisa mengusulkan solusi, namun agar bisa berdampak ia mesti diambil sebagai kebijakan oleh pejabat
yang berwenang, dan mereka pula yang punya kekuasaan mengeksekusinya.
Menteri adalah eksekutif tertinggi setelah presiden, dialah yang menentukan solusi mana yang diambil sekaligus ia pula yang mengeksekusinya.
Ketiga, tak ada yang lebih otoritatif selain menteri untuk membahasakan kebijakan-kebijakan itu kepada publik, termasuk soal penanganan pandemi. Selama ini, penanganan pandemi terkesan terfragmentasi, tersebar ke berbagai institusi yang bersifat ad-hoc, sehingga informasinya terasa centang perenang.
"Kami menyediakan ruang untuk membahasakan kebijakan penanganan pandemi ini agar bisa disampaikan dengan padu. Bedanya, media memang bukan tempat sosialisasi yang bersifat satu arah, melainkan mendiskusikannya secara terbuka," jelasnya.
Keempat, warga negara wajib patuh kepada hukum, tapi warga negara juga punya hak untuk mengetahui apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh negara. Warga boleh mengajukan kritik dalam berbagai bentuk, bisa dukungan, usulan, bahkan keberatan.
"Publik perlu menyimak paparan rencana pemerintah untuk mengatasi pandemi yang telah berlangsung
selama 6 bulan ini," kata dia. (rina/tribunnetwork/cep)