FAKTA Alat Deteksi Corona GeNose: Tak Bisa Ganti PCR, Biaya Tes hingga Dapat Pesanan dari Singapura
GeNose, alat deteksi Covid-19 buatan UGM memiliki tingkat akurasi 93 persen, tetapi tak bisa gantikan PCR.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Miftah
"Artinya, mulai saat ini GeNose sudah bisa diproduksi massal dan didistribusikan atau dipakai untuk kepentingan masyarakat, terutama tentunya untuk screening Covid-19," ujar Bambang, dalam konferensi pers virtual 'GeNose UGM dan CePAD UnPAD', Senin (28/12/2020) sore.
Adapun pada Februari 2021, kapasitas produksi alat itu ditargetkan telah tersedia sebanyak 5.000 unit.
Baca juga: Mengenal GeNose dan CePAD, Alat Deteksi Covid-19 Buatan Indonesia,Apa Bedanya dengan Rapid dan Swab?
Sudah Dapat Pemesanan dari Perusahaan Singapura
Dian mengungkapkan alat GeNose telah dipesan oleh perusahaan asal Singapura.
Beberapa pihak tertarik membeli GeNose setelah temuan para ahli di UGM tersebut mendapatkan izin edar.
"Secara spesifik sudah ada, dari Singapura, dari salah satu perusahaan besar yang basisnya di Singapura," kata Dian dalam konferensi pers virtual, Senin (28/12/2020).
Meski begitu, Dian mengatakan pihaknya saat ini masih fokus untuk memenuhi permintaan dalam negeri, mengingat kapasitas produksi GeNose masih terbatas.
"Hanya memang kita masih memprioritaskan permintaan dalam negeri dulu, karena kapasitas kita masih terbatas," ucap Dian.
Adapun beberapa rumah sakit yang elah memiliki GeNose meliputi, RS Bhayangkara di Yogyakarta, RS Karyadi di Semarang, Rumah Sakit Muwardi di Solo, Rumah Sakit UNS.
Izin GeNose Berlaku Hanya untuk Masa Pandemi
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menegaskan, izin edar GeNose yang dikeluarkan pihaknya bersifat 'Emergency Use Authorization'.
Artinya, hanya dapat digunakan saat masa pandemi Covid-19 ini.
Kadir menuturkan, GeNose masih harus menjalani uji klinik trial fase 4 untuk melihat efikasi, validitas, sensitivitas, dan spesifisitas alat tersebut.
"Izin tersebut maksudnya adalah alat itu diberikan izin hanya untuk masa pandemi saja. Namun, pada saat penggunaannya nanti harus dilakukan evaluasi yang disebut dengan clinical trial fase 4," kata dia dalam webinar yang digelar Kemenkes, Senin (28/12/2020).
(Tribunnews.com/Rica Agustina/Anita K Wardhani/Fitri Wulandrai/Fahdi Fahlevi/Rina Ayu Panca Rini, Kompas.com/Gloria Setyvani Putri)